KOMPAS.com - Abdul Muhari, Chairman Sentinel Asia Tsunami Working Group, menanggapi pemberitaan soal gempa megathrust bermagnitudo 8 di Jakarta dan potensi tsunami 57 meter di Pandeglang lewat opininya di Harian Kompas, Selasa (10/04/2018).
Dia menyayangkan pemberitaan tentang kedua hal tersebut hanya fokus pada ancamannya saja, sedangkan solusi dan mitigasinya justru nyaris tak mendapat sorotan.
Padahal menurut dia, kajian ilmiah yang dilakukan oleh Widjo Kongko mungkin akan memberi pengaruh baik dalam hal mitigasi, walaupun penyusunannya bukan perkara mudah.
Sebelum menyusun mitigasinya, Abdul menyebut bahwa kita perlu mengetahui terlebih dahulu dua karakteristik bencana terkait gempa dan tsunami.
Kedua karakteristik tersebut adalah high frequency but relatively low to medium risk (bencana yang sering terjadi tetapi relatif memiliki dampak risiko kecil sampai medium) dan low frequency but high risk disaster (bencana yang jarang terjadi tetapi memiliki dampak risiko sangat besar).
Baca juga: Merencanakan Mitigasi Gempa Jakarta, Apa yang Perlu Diketahui?
"Skenario gempa untuk kasus pertama adalah skenario yang paling mungkin dan paling sering terjadi secara historis dalam membangkitkan tsunami di kawasan tersebut," tulis Abdul.
"Karakteristik jenis ini biasanya memiliki periode ulang pendek sekitar 50 sampai 150 tahun, dengan estimasi tinggi tsunami kurang dari 10 meter," tambahnya.
Sementara itu, karakteristik bencana kedua merupakan asumsi skenario terburuk yang mungkin digunakan.
"(Mungkin) terjadi secara ilmiah dengan periode ulang lebih dari 400 tahun dan estimasi tinggi tsunami di atas 20 meter (Muhari dkk, 2015)," tulisnya.
Selain mengetahui karakteristik bencana, hal yang menurut Abdul penting bagi mitigasi adalah regulasi.
Bencana Risiko Tinggi
Peraturan Pemerintah No 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pasal 17 Ayat (1) menyebutkan bahwa mitigasi bencana dengan tingkat risiko tinggi dititikberatkan pada kegiatan non struktur/non fisik.
Peraturan ini bukan lahir tanpa sebab. Berkaca pada pengalaman gempa dan tsunami Jepang tahun 2011 memberikan kita pelajaran yang sangat penting bahwa tidak ada satu struktur fisik yang mampu menahan hantaman tsunami di atas 20 meter.
Baca juga: Gempa Megathrust Selatan Jawa, Guncangannya Bisa Merusak Jakarta
Selain itu, meski bangunan dilengkapi penahan tsunami, tapi umur struktur fisiknya (beton sekalipun) tidak mungkin melebihi 50 tahun.
"Sedangkan ketika kita berbicara tsunami dengan kategori besar, maka kita berbicara periode ulang di atas 400 tahun," ungkap Abdul.