Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Cara Pakar Susun Mitigasi Bencana seperti Potensi Tsunami 57 Meter

Kompas.com - 11/04/2018, 19:05 WIB
Resa Eka Ayu Sartika,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

"Artinya, ketika tsunami terjadi, struktur penahan tsunami tersebut mungkin sudah dalam kondisi tidak optimal dalam mereduksi potensi dampak yang mungkin terjadi," tambahnya.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana upaya non-struktur dalam kasus bencana dengan tingkat risiko tinggi?

Menurut Abdul, hal ini dimulai dari tata ruang kawasan pesisir yang berbasis mitigasi.

"Pasca-tsunami tahun 2011, Jepang membagi kawasan pesisir yang direkonstruksi menjadi dua bagian yakni kawasan yang hampir pasti selalu terkena dampak tsunami dengan periode uang 30-150 tahun (berjarak sampai 1 kilometer dari bibir pantai) dan kawasan yang hanya terdampak oleh tsunami dengan periode ulang di atas 200 tahun (berjarak sampai tiga kilometer dari bibir pantai)," katanya.

"Kedua kawasan ini tidak boleh diisi dengan pemukiman," imbuh Abdul.

Meski begitu, pemerintah Jepang memperbolehkan kawasan pertama dimanfaatkan untuk pariwisata dan konservasi, sedang kawasan kedua hanya boleh dimanfaatkan oleh industri dan pertanian dengan syarat ketahanan bangunan terhadap gempa dan tsunami yang sangat ketat.

Baca juga: Menyoal Potensi Tsunami 57 Meter, Bisakah Kajian Ilmiah Dipidanakan?

Selain itu, prasarana evakuasi dari tsunami juga harus tersedia dan mudah dijangkau bagi pengguna kawasan ini.

"Untuk kawasan yang belum terjadi tsunami dengan pemukiman di kawasan pesisir sudah relatif sangat padat, edukasi dan pelatihan evakuasi yang ditunjang dengan ketersediaan prasarana tempat evakuasi yang mudah dicapai adalah hal utama," kata Abdul.

"Jepang melakukan gladi evakuasi di tiap kota yang rawan tsunami setidaknya tiga kali dalam setahun," imbuhnya.

Tak hanya itu, menurut Abdul, untuk melindungi aset ekonomi seperti bangunan dan infrastruktur yang dibangun di kawasan rawan tsunami, peran serta asuransi dalam manajemen risiko sudah tidak bisa ditunda.

"Regulasi nasional mengenai asuransi bencana mendesak untuk diadakan. Tanpa adanya regulasi nasional, skema asuransi bencana di Indonesia sulit diwujudkan.

Baca juga: Tanpa Buoy, Seberapa Akurat Sistem Peringatan Dini Tsunami Kita?

Bencana Risiko Sedang

Berbeda dengan bencana risiko tinggi, untuk jenis bencana dengan tingkat risiko sedang dan kecil, Peraturan Pemerintah No 64 Tahun 2010 yang digunakan. Peraturan ini berisi tentang Mitigasi Bencana di Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pasal 17 Ayat (2) dan (3) menyebutkan bahwa fungsi struktur fisik bisa dikedepankan ditunjang dengan upaya non-fisik.

Peraturan ini dimaksudkan agar keberadaan struktur fisik berupa (misalnya) hutan pantai, tanggul dan pemecah gelombang dapat seiring sejalan dengan upaya perubahan perilaku masyarakat dalam merespons tanda-tanda bahaya seperti peringatan dini, gejala alam dan lain-lain.

Di samping semua itu, menurut Abdul, informasi tentang kebencanaan perlu dipahami dalam arti yang lebih luas.

"Suatu hasil kajian boleh saja diperdebatkan, imbauan agar masyarakat tetap tenang dan waspada boleh saja dilakukan," kata Abdul.

"Akan tetapi hal tersebut harus dibarengi dengan tindakan yang lebih mendesak yakni implementasi upaya mitigasi baik struktural maupun non-struktural yang direncanakan dengan baik dan tersosialisasikan secara berkelanjutan kepada masyarakat," tegasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com