Efektifitas dari terapi garam litium semakin setelah ditemukan dapat meminimalisir penipisan materi abu-abu dan memperbaiki pola sinyal kalsium diterima dan dikirim oleh sel otak.
Litium juga ditemukan dapat membantu mengurangi gejala gangguan bipolar yang disebabkan oleh masalah protein.
Setelah para peneliti yang berbasis di San Diego, Amerika Serikat mengidentifikasikan adanya gangguan pada protein CRMP2 yang meregulasi jaringan neural, studi lanjutan mereka yang dipublikasikan dalam PNAS menemukan bahwa litium dapat menormalkan protein ini.
Di samping terapi litium, terapi lain yang belakangan menjadi fokus para peneliti adalah penggunaan terapi cahaya dan terapi hormon untuk pasien gangguan bipolar.
Terapi cahaya sebetulnya digunakan untuk menangani gejala seasonal affective disorder (SAD), sebuah gangguan mood yang terjadi pada musim-musim tertentu. Terapi ini menggunakan cahaya putih buatan untuk menggantikan peran cahaya matahari pada musim dingin.
Baca juga : Autis, Bipolar, dan Skizofrenia Ternyata Punya Kemiripan Gen
Dalam sebuah studi awal yang melibatkan 46 pasien gangguan bipolar, para peneliti dari Feinberg School of Medicine, Northwestern University mendapati bahwa terapi cahaya mengurangi episode depresi pada 68 persen pasien gangguan bipolar, sedangkan plasebo hanya mengurangi depresi pada 22 persen pasien gangguan bipolar.
Terapi ini juga ditemukan aman dan tidak menimbulkan perubahan mood dari depresi ke mania oleh Francesco Benedetti dari Scientific Institute Ospedale San Raffaele yang menelaah 41 makalah tentang penggunaan terapi cahaya pada 799 pasien.
Sementara itu, studi yang diuraikan dalam jurnal Bipolar Disorder pada Januari 2018 oleh Olivia M Dean dari IMPACT Strategic Research Centre, Deakin University, Australia, dan kolega menunjukkan bahwa terapi hormon, terutama tamoxifen yang sebetulnya untuk kanker payudara, memiliki dampak positif bagi penderita gangguan bipolar.
Akan tetapi, Dharmawan berpendapat bahwa terapi cahaya dan hormon belum bisa diaplikasikan di Indonesia untuk pasien gangguan bipolar.
“Terapi cahaya kurang relevan (untuk pasien gangguan bipolar), walaupun untuk gangguan tidur lain dan episode depresinya masih bisa diaplikasikan di Indonesia. Saya pernah bicara tentang ini di kongres nasional bipolar beberapa tahun lalu,” katanya.
Dia pun berkata bahwa psikiater Indonesia menghindari terapi hormon karena kemungkinan efek sampingnya yang berbahaya.
Untuk saat ini, terapi di samping pengobatan yang paling memungkinkan menurut Dharmawan adalah electroconvulsive therapy (ECT) atau terapi kejut listrik.
Dilansir dari artikel Kompas.com 21 Desember 2017, Dharmawan menjelaskan bahwa ECT yang dibantu dengan anestesi mengaplikasikan sejumlah joule untuk mereset otak pasien.
Saat ini, para psikiater dan ahli di rumah sakit jiwa Indonesia terus mengembangkan terapi ECT dengan anestesi untuk terapi gangguan bipolar agar semakin aman dan efektif.
Baca juga : Temuan Baru Ungkap Tanda-tanda Awal dari Ganguan Bipolar
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.