Profesor Markus Nothen dari University of Bonn, Jerman, bersama tim internasionalnya menganalisis informasi genetis dari 9.747 pasien gangguan bipolar dan 14.278 individu yang tidak mengalami gangguan bipolar. Secara total, ada 2,3 juta wilayah DNA yang dipelajari.
Dalam jurnal Nature Communications pada 2014, tim ini berhasil mengidentifikasikan lima kandidat gen penyebab gangguan bipolar, yakni ANK3 seperti yang diduga oleh para peneliti dari University of Michigan, ODZ4, TRANK1, ADCY2 pada kromosom 5 dan MIR2113-POU3F2 pada kromosom 6.
Nothen dan kolega secara khusus tertarik untuk mempelajari ADCY2 lebih lanjut karena gen ini berfungsi dalam produksi enzim yang mengonduksikan sinyal ke sel-sel saraf.
Selain miskomunikasi sel otak, beberapa studi juga menemukan masalah lain pada otak, seperti tingkat keasaman yang tinggi dan penipisan materi abu-abu, yang diduga sebagai penyebab gangguan bipolar.
Dugaan mengenai tingginya tingkat keasaman otak pada pasien gangguan bipolar ini semakin dikuatkan oleh temuan Tsuyoshi Miyakawa dari Fujita Health University dan timnya dalam jurnal Neuropsychopharmacology pada 2017.
Baca juga : Sepotong Kisah Pelukis Van Gogh sebagai Seorang Bipolar
Setelah menganalisis hasil dari 10 studi yang membandingkan otak pasien skizofernia dan bipolar yang sudah meninggal dengan subyek kontrol, tim Miyakawa menemukan bahwa median nilai pH pasien bipolar lebih rendah daripada subyek kontrol.
Hasil serupa juga ditemukan tim ketika memeriksa lima model tikus yang memiliki gen untuk kondisi gangguan bipolar.
Meski demikian, studi ini dilakukan pada pasien yang sudah meninggal sehingga masih perlu ditindaklanjuti dengan pencitraan otak pasien yang masih hidup. Selain itu, apakah keasaman otak yang mungkin menjadi karakteristik pasien gangguan bipolar ini adalah efek atau penyebab masih belum jelas.
Lalu pada tahun yang sama, sebuah konsorsium global yang terdiri dari 76 pusat penelitian dan 26 tim peneliti di seluruh dunia memublikasikan hasil dari studi MRI terbesar terhadap 6.503 individu dalam jurnal Molecular Psychiatry. 2.447 pasien dipelajari memiliki gangguan bipolar, sedangkan 4.056 individu sisanya tidak.
Mereka menemukan adanya penipisan materi abu-abu, terutama pada lobus frontal dan lobus temporal yang mengatur kontrol diri dan emosi, pada pasien gangguan bipolar.
Mencari penanganan terbaik
Selain penyebab, para peneliti juga terus mengeksplorasi efektifitas dan keamanan berbagai pengobatan dan penanganan gangguan bipolar.
Salah satunya telaahan yang baru dipublikasikan di jurnal Bipolar Disorder.
Para peneliti menemukan bahwa terapi litium paling efektif dalam mengontrol gejala gangguan bipolar dibanding monoterapi lainnya setelah menelaah sembilan studi observasi terkontrol yang melibatkan 14.271 pasien dengan gangguan bipolar di Swedia, Denmark, Amerika Serikat, Jerman, Italia, Inggris, Australia dan Kanada.
Selain lebih efektif dalam mengontrol gejala gangguan bipolar, litium juga ditemukan mengurangi risiko bunuh diri dan kemunculan demensia pada pasien dengan gangguan bipolar.