KOMPAS.com - Kabar meninggalnya fisikawan terkenal Stephen Hawking tentu mengejutkan dunia. Apalagi beberapa waktu sebelumnya, Hawking masih sempat melakukan wawancara dengan sejawatnya Neil deGrasse Tyson.
Selain itu, hingga saat ini penyebab meninggalnya Hawking belum diketahui.
Meski begitu, sebenarnya, Hawking telah lama diketahui mengidap penyakit neurologis amyotrophic lateral sclerosis (ALS) selama lebih dari 55 tahun. Padahal biasanya penyakit ini punya angka harapan hidup yang tipis.
Kebanyakan orang akan meninggal dua hingga lima tahun setelah didiagnosis ALS. Hal inilah, selain pemikirannya, yang membuat Hawking istimewa.
Baca selengkapnya: 75 Tahun Stephen Hawking, Pelajaran Hidup dari Fisikawan Kelas Dunia
Tak Pernah Menyerah
Seperti yang telah disebutkan, sebagai penderita ALS, Hawking sangat fenomenal. Ia didiagnosis menderita ALS di usia 21 tahun.
Saat itu, Hawking divonis hanya mampu bertahan 2 tahun saja. Siapa sangka, ia melampaui prediksi dokter tersebut. Bahkan, ia tetap bisa mambuat pemikiran-pemikiran hebat.
Namun, perjalanan Hawking dengan ALS ini tak berlangsung mulus begitu saja. Dalam buku autobiografi singkat "Stephen Hawking: My Brief History", ia mengungkapkan bahwa ia tak langsung bisa menerima penyakitnya.
Awalnya, ia merasa merasa bosan dengan hidupnya, merasa tak ada hal berguna yang bisa dia lakukan. Sebuah pengalaman di rumah sakit lantas mengubahnya.
"Saya melihat seorang anak laki-laki di ranjang sebelah mati karena leukemia. Itu bukan pengalaman yang baik. Jelas ada orang yang kondisinya lebih buruk dari saya. Kapan pun saya merasa tidak berharga, saya selalu mengingat anak laki-laki itu," tulisnya.
"Segera setelah saya keluar dari rumah sakit, saya merasa seperti akan dieksekusi. Saya lalu menyadari bahwa banyak hal berharga yang bisa dilakukan jika saya tangguh. Saya juga bermimpi mengorbankan hidup untuk orang lain. Jika saja saya mati setelahnya, setidaknya saya melakukan hal baik," sambungnya.
Dalam buku tersebut, Hawking juga menginspirasi banyak orang dengan keterbatasan.
"Saya percaya orang dengan keterbatasan seharusnya berkonsentrasi melakukan yang tetap bisa dikerjakan dengan kursi roda dan tidak menyesali hal lain yang tidak bisa dilakukan," katanya.
Dengan kata lain, jangan menyesal karena memiliki kelemahan, tetapi fokus mengembangkan diri dengan apa yang dimiliki.