KOMPAS.com -- 17 orang asal Belanda secara sukarela menjadi “kelinci percobaan” dalam riset penciptaan vaksin bagi penyakit schistosomiasis atau demam bilharzia. Para relawan bersedia tubuhnya ditinggali cacing parasit selama 12 minggu dengan kompensasi sebesar 1.200 dolar AS atau sekitar Rp 16,5 juta.
“Kedengarannya ini aneh dan gila. Ide menyuntikkan cacing supaya tumbuh di dalam diri Anda terdengar buruk,” kata Meta Roestenberg, ketua peneliti sekaligus dokter penyakit menular dari Pusat Kesehatan Universitas Leiden dilansir dari NYTimes, Senin (5/3/2018).
Schistosomiasis adalah penyakit mematikan yang memakan 200 juta jiwa per tahun, termasuk ribuan di kawasan Sahara Afrika dan Amerika Selatan.
Penyebab penyakit ini adalah larva yang mendiami cangkang siput di danau air tawar pada malam hari. Pada siang hari, larva Schistosoma mansoni berkeliaran di air. Saat itulah, larva bisa menyusup ke bak mandi atau ke kulit nelayan yang berkubang di air.
Baca juga : Kasus Langka, Dokter Temukan Cacing Pita dan Ribuan Telur di Mata Pria
Larva yang menetap di tubuh manusia akan berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina. Mereka akan kawin dan menghasilkan ratusan telur setiap hari. Telur-telur tersebut dikhawatirkan bisa tertinggal di hati atau kandung kemih.
Akibatnya, imunitas tubuh menurun hingga berujung rasa sakit kronis, demam, perdarahan, dan kegagalan organ tubuh. Selain itu, timbul infeksi ginekologis yang akan memicu kenaikan risiko HIV.
Roestenberg menambahkan, upaya penciptaan vaksin melalui uji coba yang mengorbankan 17 orang tersebut dianggap tidak terlalu berisiko dibandingkan manfaat yang kelak diperoleh.
Pasalnya sejauh ini, baru ada dua vaksin untuk penyakit ini yang boleh diujikan ke manusia, dan keduanya masih tahap awal.
Baca juga : Ngeri tapi Nyata, Wanita Ini Temukan 14 Cacing Parasit dalam Matanya
Vaksin yang didapat nantinya akan bermanfaat dalam menekan jumlah penduduk miskin di dunia yang terjangkit penyakit tersebut. Kendati demikian, eksperimen tersebut menimbulkan perdebatan. Ada peneliti yang tidak sepakat lantaran khawatir dengan nasib para relawan.
Seusai riset berakhir, para peneliti juga mencemaskan adanya endapan parasit di tubuh relawan. Selain itu, seseorang yang baru pertama kali terpapar larva Schistosoma mansoni akan menunjukkan respons berupa demam Katayama, yakni sistem saraf pusat yang terganggu, dan berpotensi meninggal.
Untuk menyangkal anggapan peneliti yang menolak risetnya, Roestenberg beserta timnya dengan sengaja telah menekan jumlah risiko yang akan diterima para relawan. Timnya hanya memasukkan 20 larva jantan ke tubuh relawan. Dengan begitu, tidak ada larva yang berkembangbiak dan menghasilkan ribuan telur.
Baca juga : Lawan Kuman Super, Kini Peneliti Mengandalkan Cacing
Para anggota peneliti juga akan memantau perubahan kesehatan para relawan. Apabila muncul demam ringan dan ruam di kulit, relawan akan segera ditangani oleh tim dokter. Reaksi tersebut masih dipandang wajar dan tidak terlalu membahayakan.
Setelah riset usai, para relawan juga akan diberikan obat Praziquantel untuk menyembuhkan infeksi sekaligus melenyapkan semua parasit yang masih tertinggal.
Daniel Coley, pakar schistosomiasis dari Universitas Georgia yang tidak terlibat dalam riset ini menyangsikan pemberian obat Praziquantel pada partisipan. Pasalnya, cacing penyebab penyakit tersebut masih bisa bertahan hidup hingga lima sampai 10 tahun.
Pendapat ini kemudian dibantah pakar lain yakni James Collins dari Pusat Kesehatan Southwestern Universitas Texas. Menurut dia, penelitian ini justru terobosan baru untuk menemukan obat penyembuh penyakit ini, mengingat obat yang ada sebelumnya masih belum mampu berfungsi efektif.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.