Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/02/2018, 17:00 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis


KOMPAS.com - Sejak zaman dulu, emas merupakan logam mulia yang berharga bagi manusia. Selain menjadi perhiasan, emas juga dijadikan barang investasi.

Emas sendiri berasal dari bintang mati yang jauh dari bumi. Para ilmuwan memperkirakan emas berasal dari supernova yang membombardir bumi sekitar 200 juta tahun lalu. Tapi kini emas dapat diciptakan manusia.

Seperti diberitakan KOMPAS.com sebelumnya, saat ini tim peneliti Internasional sedang mengembangkan tambang emas dari limbah elektronik. Mereka menemukan bakteri yang dapat mengambil jejak emas dalam limbah elektronik dan mengubahnya menjadi emas.

Menurut associate professor dari University of Adelaide, Frank Reith, temuan ini akan sangat berarti bagi perusahaan tambang. Teknik yang dilakukannya diklaim tak akan memberi dampak negatif bagi kesehatan, komunitas, atau lingkungan.

Baca juga : Bakteri Ini Ubah Limbah Elektronik Jadi Tambang Emas Murni

Dalam makalah yang terbit di Metallomics, Rabu (31/1/2018), bakteri yang dimaksud oleh Reith adalah Cupriavidus metallidurans.

Mereka menemukan bakteri C. metallidurans dapat tetap hidup saat menelan senyawa logam beracun, efek sampingnya justru bakteri tersebut menghasilkan sejumlah emas kecil.

Emas mirip banyak elemen lainnya yang dapat bergerak melalui siklus biogeokimia. Di mana emas akan larut, bergeser, dan akhirnya terkonsentrasi kembali di endapan bumi.

Uniknya, C. metallidurans yang sudah ditemukan sejak 2009 terlibat dalam setiap prosesnya. Inilah yang membuat para peneliti bertanya-tanya bagaimana mungkin bakteri tersebut tidak mati oleh senyawa beracun yang biasanya ada di dalam tanah.

"Penelitian ini menunjukkan bagaimana C. metallidurans terlibat dalam detoksifikasi emas yang kompleks," ujar Reith yang merupakan ahli geomikrobiologi dan merupakan peneliti utama dalam penelitian ini pada 2009.

Sejak pertama kali ditemukan, kini Reith dan koleganya tahu bagaimana mekanisme bakteri dapat mencapai prestasi yang menakjubkan ini.

Dalam penelitiannya, mereka menemukan bahwa C. metallidurans tumbuh subur di tanah yang mengandung mineral dan logam berat beracun.

Di dalam tanah itu, organisme sering bersentuhan dengan dua jenis logam berat, yakni tembaga dan emas. Umumnya, tembaga dan emas dapat mudah terserap ke dalam sel dan menempatkan bakteri pada risiko keracunan logam berat atau toksisitas logam.

"Jika organisme memilih untuk bertahan hidup di lingkungan seperi itu, ia harus memiliki cara untuk melindungi diri dari zat beracun," imbuh Dietrich H Nies dari Martin Luther University Halle-Wittenberg di Jerman, dilansir Science Alert, Selasa (6/2/2018).

Baca juga : Dengarkan Suara Piringan Emas yang Dikirim oleh Bumi ke Antariksa

Peneliti menemukan bakteri tersebut memiliki mekanisme pelindung diri yang canggih, tak hanya pada emas tapi juga tembaga.

C. metallidurans bisa tetap hidup karena ia memiliki enzim yang dapat mendorong tembaga dan emas keluar dari sel mereka. Ia memiliki dua enzim berbeda untuk menangani tembaga dan emas.

Dalam mengatasi tembaga mereka memiliki enzim yang disebut CupA, sementara untuk menangani emas mereka memiliki enzim yang disebut CopA.

Dengan kedua molekul tersebut, bakteri C. metallidurans dapat mengubah senyawa emas dan tembaga menjadi bentuk yang sulit diserap oleh sel.

Proses tersebut juga yang membuat C. metallidurans menumpahkan semua tembaga yang tidak diinginkan dan sekaligus menghasilkan sejumlah partikel kecil emas di permukaan bakteri.

Dengan memahami C. metallidurans yang dapat mengeluarkan sejumlah emas berukuran kecil, berarti para ilmuwan memiliki peluang besar untuk membuka siklus biogeokimia emas.

Di masa depan, pengetahuan ini juga bisa digunakan untuk memperbaiki logam mulia dari bijih yang hanya mengandung sejumlah kecil logam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com