Menjadi berdaya bersama-sama
Revolusi mental membutuhkan terobosan pendekatan. Perubahan paradigma. Pergeseran cara. Tidak mungkin rakyat diajarkan soal preventif dan promotif kalau tidak paham apa itu gaya hidup sehat. Apalagi tidak paham apa itu pangan yang sehat.
Menjadi berdaya, belajar lagi membuat masakan bergizi di rumah, mengalokasikan uang rokok menjadi jatah sayur dan buah, membutuhkan kerja nyata dan contoh mulai dari petinggi hingga pelayan rakyat, alias petugas kesehatan.
Rakyat tidak cukup diberi slogan-slogan ‘awareness’. Apalagi ditakut-takuti dengan gambar.
Alasan kuno petani tembakau bakal jatuh miskin, jika perokok makin sedikit terlalu menggelikan. Kenyataannya, rokok impor liar beriklan mulai dari pasang spanduk hingga banting harga. Indonesia adalah tempat terbaik untuk pemasaran rokok.
Sebetulnya, jika mau inovatif sedikit, negeri ini bisa menjadi produsen satu-satunya pestisida organik berbahan tembakau. Masalahnya, ada yang berpihak pada pabrik rokok. Bukan petani tembakaunya.
Sudah waktunya petugas kesehatan, kader, PKK, para relawan ahli ekonomi, ekologi, pendidikan, pertanian, turun bersama – bukan memberi ceramah – tapi turun tangan menunjukkan bagaimana caranya menyiapkan makanan, menyimpan sisa bahan makanan, mengelola keuangan dalam seminggu, menangani anak yang rewel dan tidak doyan ini itu, memerbaiki ventilasi rumah, mengatur pembuangan limbah dan jamban.
Semuanya hanya bisa terlaksana dibawah koordinasi orang-orang yang sungguh-sungguh melakukan pendekatan kerakyatan. Saatnya rakyat menjadi tujuan, bukan dijadikan sarana.
Halaman gedung pemerintahan seminggu sekali bisa diikhlaskan menjadi tempat dagang para petani dan nelayan yang tak mampu punya lapak. Mereka menjual dengan harga murah, sesama rakyat yang beli pun menikmati kemurahan harga.
Keterlibatan pengusaha bukan lagi dengan memberi sumbangan makanan sebagai promosi terselubung – tapi membangun infrastruktur.
Apalagi artis, ketimbang disorot mengunyah biskuit gandum – yang bahan bakunya saja tak tumbuh di negri ini - apa salahnya mempromosikan singkong rebus dengan sambal ikan roa?
Tidak berhenti di situ, ajak rakyat melihat manfaat dan hasilnya. Jangan lupa, prinsip perubahan perilaku: orang hanya jadi konsisten dan persisten jika mampu menikmati hasil.
Solidaritas, nasionalisme, tidak cukup hanya berkoar-koar di ruang konferensi apalagi ramai-ramai pamer batik.
Kesetiakawanan nasional hadir saat rakyat menikmati pemberdayaan, bukan pembodohan. Saat kita semua bangga makan nasi jagung, singkong, ubi dan kapurung.
Saat bandara internasional tanah air juga menjual arsik, naniura, hingga lawa mairo – bukan aneka pancake dan lobi penuh asap rokok.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.