Di jalan, ada banyak perhentian entah karena gangguan kecil pada kendaraan atau karena hal-hal lain di luar dugaan, seperti pemandangan indah yang membuat kami ingin berlama-lama menikmati perjalanan. Ketidakpastian kerap juga memunculkan kejutan menyenangkan.
Perjalanan sekitar 20 jam membuat kami intens bercakap-cakap. Hal yang amat jarang bisa kami lakukan dengan intensitas seperti ini.
Sebagai pekerja, waktu tempuh ke tempat kerja dan pulang ke rumah menyita banyak waktu untuk bercakap-cakap dengan anak-anak setiap hari. Kami yang tinggal di sekitar Jakarta mengalami hal ini.
Meskipun menjelang malam saya lihat ada kekecewaan lantaran belum juga sampai Yogyakarta, anak saya bisa menerima alasannya.
Kebersamaan dan bantu membantu di perjalanan membuat kami menanggalkan ego untuk segera tiba di Yogyakarta. Kesulitan teman perjalanan adalah kesulitan bersama untuk diatasi.
Kerap abai sebagai ayah
Meskipun anak lelaki tujuh tahun sudah bisa "mandiri", pengawasan dan campur tangan orang lain bukan tidak diperlukan. Persoalan sederhana seperti tidur, bangun tidur, mandi, dan gosok gigi misalnya diperlukan campur tangan orang lain. Juga soal makan dan jenis makanan. Begitu juga soal pengaturan waktu untuk sejumlah kegiatan.
Untuk urusan-urusan ini, sebagai ayah yang bekerja, saya kerap abai dan menyerahkan semua pada istri. Namun, saat kami hanya berdua bepergian untuk waktu yang cukup lama, urusan-urusan yang tampaknya sepele ini ternyata tidak mudah juga. Kemampuan persuasi dan kesabaran menjadi tuntutan di sini.
Dalam kerepotan ini, hal-hal terkait anak yang biasanya saya hindari dengan alasan pekerjaan, harus saya hadapi. Tidak mudah dan kerap menguras energi.
Kamar berantakan sudah pasti. Ingatan saya lantas tertuju pada istri dan ibu-ibu lain yang setiap hari mereka menghadapi kerepotan yang tidak mudah ini. Empati muncul di sini.
Namun, petualangan dengan anak sendirian tidak melulu berisi hal-hal yang tidak mudah dan membuat pening. Ada saat-saat kebersamaan yang intens dan itu menyenangkan. Kami lantas saling mengenal lebih dalam.
Ketika bersepeda tandem keliling Museum Vredeberg dan menyaksikan Presiden Joko Widodo keluar dari Gedong Agung dan melambaikan tangan kami berbagi tawa. Saat ke Pantai Parangkusumo, Bantul, kami bermain pasir sampai lupa waktu.
Juga ketika ikut lava tour di Gunung Merapi, saya kelelahan meladeni keinginan anak saya yang antusias naik sampai ujung bukit tempat bungker dibangun.
Tumbuhkan empati
Dua hari kami habiskan waktu hanya di Yogyakarta. Dalam dua hari, perubahan saya rasakan. Perubahan paling nyata adalah perubahan kesadaran bahwa selama ini saya kurang mengenal anak saya.