Berjarak 40 Tahun Cahaya, Inikah Rumah Masa Depan Manusia?

Kompas.com - 03/05/2016, 18:58 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com — Adakah Bumi kedua di alam semesta? Jika kehidupan di Bumi punah karena Matahari sekarat, apakah manusia lari ke dunia lain dan menghuninya? Itu selalu menjadi pertanyaan.

Astronom dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan University of Liege di Belgia baru-baru ini menemukan tiga dunia baru yang diprediksi layak menjadi rumah masa depan manusia.

Berjarak 40 tahun cahaya atau sekitar 378 triliun kilometer dari Bumi, tiga dunia yang berupa planet itu mengorbit bintang redup dan dingin. Saking redupnya, bintang itu tak terdeteksi teleskop optik.

Astronom menemukannya dengan perangkat TRAnsiting Planets and PlanetesImals Small Telescope (TRAPPIST), teleskop berdiameter 60 cm yang berada di Cile.

Menggunakan teleskop itu, ilmuwan mendeteksi planet dengan metode transit. Prinsipnya adalah melihat peredupan cahaya bintang akibat planet yang melintas di mukanya.

Sejak September 2015, tim ilmuwan mengamati bintang dingin seukuran Yupiter bernama 2MASS J23062928-0502285 atau yang kini dinamai TRAPPIST-1.

Ilmuwan mengetahui, beberapa kali cahaya bintang meredup. Ketika menganalisis data, mereka mengetahui bahwa peredupan itu disebabkan oleh adanya tiga planet yang mengitarinya.

Dua planet berjarak dekat. Saking dekatnya, satu tahun di dua planet itu hanya berlangsung selama 1,5 dan 2,4 hari. Radiasi yang diterima planet itu 4 dan 2 kali dari radiasi yang diterima Bumi dari Matahari.

Planet ketiga berjarak lebih jauh, tetapi tergolong dekat dengan bintangnya. Satu tahun dari planet itu hanya 73 hari, dan radiasi yang diterimanya juga lebih rendah dari yang diterima Bumi.

Julien de Wit dari MIT yang terlibat penelitian mengatakan, jarak bintang TRAPPIST-1 yang tergolong dekat dari Bumi menguntungkan.

Pengetahuan komprehensif tentang bintang tersebut dan lingkungan sekelilingnya, termasuk potensi untuk dihuni, bisa didapatkan dalam generasi kita.

"Planet-planet ini begitu kecil, kita bisa mempelajari atmosfer dan komposisinya, merancang jalan ke sana, yang berarti dalam generasi kita, kita bisa tahu apakah memang bisa dihuni," kata De Wit seperti dikutip MIT News, Senin (2/5/2016).

Proyek penemuan planet ini berbeda dari umumnya. Bila misi Kepler yang terkenal dari Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menyelidiki ratusan bintang yang jauh, misi TRAPPIST hanya menyelidiki bintang dekat dan redup.

Namun, misi berbeda ini ternyata memberi manfaat. Pengamatan bintang redup lebih mudah dilakukan karena cahayanya tak mengganggu keberadaan planet.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau