Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpuruk di Lereng Meratus

Kompas.com - 01/07/2011, 23:31 WIB

Oleh Rusmanadi

Naun, lelaki Dayak Balangan itu duduk di serambi rumahnya, di wilayah pemukiman masyarakat adat Libaru Sungkai. Seraya bersandar pada dinding rumah, diperhatikannya istrinya, Sarini, yang sedang menjemur padi tugalan di halaman.

"Dulu hasil panen kami lebih banyak," ujarnya pelan sambil menghembuskan asap rokok kretek murahan.

Dulu ladangnya lebih luas sehingga hasil panen juga lebih banyak. Berbeda dengan sekarang, saat ladangnya beralih fungsi menjadi areal pertambangan batu bara. Terpaksalah ia harus membuka lagi ladang di belahan lain dari pegunungan Meratus yang jaraknya lebih jauh dan masuk dalam wilayah kekuasaan sub etnis Dayak Meratus lainnya.

Libaru Sungkai, merupakan pemukiman masyarakat adat Dayak Balangan, sub etnis Dayak Meratus yang masuk dalam wilayah Desa Uren, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.

Tidak ada akses jalan menuju ke sana. Untuk sampai ke pemukiman itu harus ditempuh dengan berjalan kaki menembus hutan, mendaki perbukitan dan menyebrangi tak kurang dari enam aliran sungai berarus deras.

Dari Desa Binuang Santang, anak desa terakhir di wilayah Uren yang bisa dicapai dengan kendaraan, perjalanan menembus hutan dan perbukitan di jejeran pegunungan Meratus memakan waktu sekitar enam jam. Sedang jarak dari Paringin, ibu kota Balangan ke Desa Binuang Santang, kurang lebih 54 km dengan kondisi jalan yang tidak bisa dikatakan bagus.

Di pemukiman itu kini sudah bisa ditemui bangunan rumah dari kayu dan jumlahnya mencapai 80 buah. Sebelumnya, di pemukiman itu hanya ada rumah-rumah tradisional masyarakat adat Dayak Meratus yang sederhana, sebanyak delapan buah dan satu Balai Adat.

Sebagian rumah lagi berada di pinggiran wilayah pemukiman, di daerah yang lebih masuk ke dalam hutan. Rumah-rumah itu, seluruhnya mulai dari tiang, atap, dinding hingga lantai terbuat dari paring (bambu).

Total masyarakat adat yang mendiami pemukiman itu jumlahnya mencapai 200 jiwa, terdiri dari manula, orang dewasa dan anak-anak. Namun suasana di pemukiman tidaklah ramai karena kebanyakan dari mereka berdiam di pondok-pondok, di ladang yang jaraknya cukup jauh dari wilayah pemukiman.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com