Madina Nusrat
Jangan berharap perhatian Salim akan beralih dari pekerjaannya saat diajak berbicara karena dia lebih memilih bersikap tidak peduli. Sambil bicara pun Salim tetap larut dengan pekerjaannya, yaitu memotong-motong daging ikan dalam potongan kecil dan sedang.
Sesekali cucunya, Mucronata (5), mengganggu dengan merebut ikan dari genggaman Salim, yang akan dilemparkan ke kolam penyu. ”Iiih, anak ini usil sekali,” ujar Salim.
Usai menunaikan tugasnya, kakek enam cucu ini berpaling kembali ke kebun pembibitan bakau yang letaknya tak jauh dari kolam penyu di Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, Pulau Pramuka, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Di kebun itu terdapat ribuan bibit bakau yang siap ditanam di pulau-pulau di Kepulauan Seribu.
Itulah kegiatan sehari-hari Salim, yang membuatnya mendapat penghargaan. Berbagai penghargaan pelestarian lingkungan diperolehnya, termasuk Kalpataru pada 2006. Ia dinilai berhasil melestarikan bakau dan penyu sisik. Semua penghargaan itu tidak membuat dia berubah. Dia justru makin larut dengan pekerjaannya.
”Kerja saya ya nguli. Sampai kapan pun saya mau nguli untuk mangrove dan penyu,” katanya.
Pekerjaan nguli yang digeluti Salim itu tidak hanya melestarikan hutan mangrove di Kepulauan Seribu. Dia juga dipercaya sejumlah perusahaan otomotif, pengembang skala besar, dan beberapa pemerintah provinsi di Jawa dan Sumatera untuk mengembangkan kembali ekosistem mangrove di kawasan pesisir.
Atas dasar kepercayaan itu, beberapa kali dalam sebulan Salim meninjau sejumlah kawasan pesisir di Pulau Jawa dan Sumatera yang sedang dikembangkan sebagai ekosistem mangrove. Sesekali pria yang tidak lulus sekolah dasar ini mengisi kuliah terbuka terkait konservasi alam pesisir di sejumlah universitas.
”Kalau pergi keluar untuk meninjau, saya pakai pakaian nguli begini, paling praktis,” katanya sambil menunjuk celana pendek dan kaus oblong hitam yang dikenakannya saat itu.