Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setia "Nguli" demi Mangrove dan Penyu

Kompas.com - 27/06/2011, 02:48 WIB

Madina Nusrat

Jangan berharap perhatian Salim akan beralih dari pekerjaannya saat diajak berbicara karena dia lebih memilih bersikap tidak peduli. Sambil bicara pun Salim tetap larut dengan pekerjaannya, yaitu memotong-motong daging ikan dalam potongan kecil dan sedang.

Kalau mau ngobrol, ngomong saja. Saya sambi kerja,” ujar Salim enteng. Setelah satu baskom kecil terisi penuh potongan ikan, tubuhnya segera berpaling menuju kolam tukik dan kolam rehabilitasi penyu sisik yang terluka.

Sesekali cucunya, Mucronata (5), mengganggu dengan merebut ikan dari genggaman Salim, yang akan dilemparkan ke kolam penyu. ”Iiih, anak ini usil sekali,” ujar Salim.

Usai menunaikan tugasnya, kakek enam cucu ini berpaling kembali ke kebun pembibitan bakau yang letaknya tak jauh dari kolam penyu di Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, Pulau Pramuka, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Di kebun itu terdapat ribuan bibit bakau yang siap ditanam di pulau-pulau di Kepulauan Seribu.

Itulah kegiatan sehari-hari Salim, yang membuatnya mendapat penghargaan. Berbagai penghargaan pelestarian lingkungan diperolehnya, termasuk Kalpataru pada 2006. Ia dinilai berhasil melestarikan bakau dan penyu sisik. Semua penghargaan itu tidak membuat dia berubah. Dia justru makin larut dengan pekerjaannya.

”Kerja saya ya nguli. Sampai kapan pun saya mau nguli untuk mangrove dan penyu,” katanya.

Pekerjaan nguli yang digeluti Salim itu tidak hanya melestarikan hutan mangrove di Kepulauan Seribu. Dia juga dipercaya sejumlah perusahaan otomotif, pengembang skala besar, dan beberapa pemerintah provinsi di Jawa dan Sumatera untuk mengembangkan kembali ekosistem mangrove di kawasan pesisir.

Atas dasar kepercayaan itu, beberapa kali dalam sebulan Salim meninjau sejumlah kawasan pesisir di Pulau Jawa dan Sumatera yang sedang dikembangkan sebagai ekosistem mangrove. Sesekali pria yang tidak lulus sekolah dasar ini mengisi kuliah terbuka terkait konservasi alam pesisir di sejumlah universitas.

”Kalau pergi keluar untuk meninjau, saya pakai pakaian nguli begini, paling praktis,” katanya sambil menunjuk celana pendek dan kaus oblong hitam yang dikenakannya saat itu.

Tanpa bantuan

Pekerjaan yang pasti dilakukan Salim setiap pagi adalah menyiapkan ikan untuk pakan penyu-penyu yang sedang direhabilitasi dan seratusan tukik yang baru menetas. Ia menyediakan sendiri kebutuhan ikan itu, tanpa bantuan pemerintah, meski biayanya per hari mencapai Rp 66.000 atau sekitar Rp 2 juta per bulan.

Untuk mencukupi kebutuhan itu, Salim menggunakan upahnya sebagai pengembang ekosistem mangrove dari sejumlah perusahaan. Selain itu, ia juga mendapat sumbangan dari wisatawan dan mahasiswa yang berkunjung ke Balai Taman Nasional dan hasil menjual bibit bakau seharga Rp 1.000-Rp 5.000 per bibit.

Agar memiliki dana cadangan untuk membeli ikan, Salim menyiasatinya dengan menjual bibit bakau berharga relatif tinggi kepada perusahaan yang ingin mengadakan penghijauan. Harganya bisa mencapai Rp 100.000 per bibit.

”Lha wong perusahaan besar, pasti dananya juga besar. Lumayan, uangnya bisa saya simpan untuk membeli ikan, pakan penyu,” katanya memberi alasan.

Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, Salim bersandar pada gajinya sebagai petugas Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, sebesar Rp 1,3 juta per bulan. Sementara, pekerjaannya merehabilitasi penyu dan membudidayakan bakau dia lakukan sepenuhnya atas inisiatif sendiri.

Salim mengakui, sesungguhnya dia tidak paham dengan konsep pelestarian lingkungan. Awalnya dia hanya prihatin dengan kondisi hutan bakau di Pulau Penjaliran (salah satu pulau di Kepulauan Seribu) yang rusak.

Adapun kepedulian Salim terhadap penyu sisik disebabkan kecintaannya pada penyu, selayaknya orang yang menyukai hewan.

”Kalau sama penyu, saya punya kesenangan tersendiri. Ada kepuasan batin, seperti orang Jawa yang gandrung burung perkutut,” ujarnya.

Saking cintanya pada penyu, Salim sampai tahu betul perilaku penyu yang rakus terhadap ikan. ”Lihat tuh, meskipun makannya perlahan, penyu ini rakus. Mau dikasih ikan berapa kilogram pun, pasti habis dimakan,” katanya sambil menunjuk kolam rehabilitasi yang berisi dua penyu dengan luka di kakinya.

Kebetulan

Awal keterlibatannya dalam pelestarian bakau dan penyu bisa dikatakan kebetulan. Sekitar 21 tahun lalu, Salim yang sudah melaut sejak usia 19 tahun itu terdampar di Pulau Penjaliran. Ia tak bisa kembali ke kampung halamannya di Jepara karena kehabisan perbekalan dan kapalnya hancur. Saat itu usianya sudah 40 tahun.

Untuk membiayai hidup, Salim bekerja sebagai penjaga Pulau Penjaliran atas permintaan warga setempat. Di pulau itu pula ia melihat hutan bakau mengalami kerusakan cukup parah.

Atas dasar keprihatinan itu, dia mulai membuat pembibitan pohon bakau secara mandiri dan menghidupkan kembali hutan mangrove di pulau tersebut.

Di Pulau Penjaliran pula Salim menikah dengan warga setempat, Sarwinah. Mereka memiliki empat anak. Tahun 1995 dia memboyong keluarganya menetap di Pulau Pramuka. Namun, Sarwinah meninggal dunia pada tahun 2008 karena sakit.

Salim menikah lagi dengan seorang biduan di Pulau Pramuka. Bersama istri keduanya ini, dia memiliki satu anak.

Kembali berbicara tentang lingkungan, sambil tetap bekerja Salim berkisah tentang kerisauannya pada keberlanjutan pelestarian bakau. Dia sangat berharap anak-anak dan cucunya bisa dan mau melanjutkan perjuangannya melestarikan bakau dan penyu.

Untuk menarik minat mereka, Salim sejak beberapa waktu lalu mulai melibatkan anak-anak dan cucunya dalam kegiatannya sehari-hari yang berkaitan dengan bakau dan penyu. Pada hari itu, misalnya, sang cucu Mucronata dia biarkan bermain sambil memberi pakan kepada penyu.

Salim juga mengaku tak akan lelah memberikan penjelasan tentang bakau dan penyu kepada setiap pengunjung, mahasiswa, ataupun siswa sekolah yang datang ke sana.

”Saya ingin agar pantai kita tetap hijau, penyu juga tetap dapat hidup di laut dan menetaskan telurnya di pantai,” kata Salim tegas.

 

***

Salim

• Lahir: Jepara, Jawa Tengah, 29 Oktober 1950 

• Penghargaan:
- Juara I Pengabdian Lingkungan dari Gubernur DKI Jakarta, Juni 1991 
- Wana Lestari Satya Nugraha kategori pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, Maret 1999 - Kalpataru kategori pengabdian lingkungan dari Menteri Lingkungan Hidup, Juni 2006

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com