KOMPAS.com - Tersangka pembunuhan ayah dan anak, Aulia Kesuma (AK) mengaku mendapat inspirasi aksi kejinya dari tayangan sinetron yang sering dia tonton.
AK menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh suaminya Edi Chandra Purnama alias Pupung. Selain pembunuhan, AK juga menjadi otak pembakaran jasad suami dan anak tirinya di dalam mobil.
Dilansir Kompas TV, AK mengaku awalnya tidak berencana membakar mayat suami dan anak tirinya. Namun, karena panik dan terlalu banyak menonton sinetron, hingga pada akhirnya Aulia tak menyangka mobil akan meledak.
Awalnya, Aulia hanya berniat untuk menghidupkan api kecil di mobil dan mendorong mobil berisikan mayat suami dan anak tirinya ke jurang.
Baca juga: Istri Sewa Pembunuh Bayaran untuk Bunuh Suami dan Anak, Ini Kata Psikolog
Pengakuan AK melakukan aksinya karena terinspirasi dari sinetron tentu saja menimbulkan banyak tanggapan dari warganet.
Banyak netizen yang meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk tegas dan segera bertindak meloloskan tayangan yang benar menghibur dan mengedukasi, bukan tayangan yang menggambarkan kekerasan.
Selain itu, ada juga netizen yang menganggap sinetron mirip dengan film porno yang memicu orang melakukan pemerkosaan.
Namun, bagaimana tayangan-tayangan fiktif dapat memicu manusia melakukan hal serupa di dunia nyata?
Menanggapi hal ini Kompas.com menghubungi Hening Widyastuti, psikolog asal Solo.
Hening berkata, sinetron dan tayangan di televisi awalnya bertujuan unuk menghibur pemirsa.
Seiring waktu, makin banyak industri pertelevisian dan rumah produksi yang memproduksi sinetron-sinetron.
Sayangnya, sinetron yang edukatif jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding sinetron yang kualitasnya kurang mendidik.
"Justru lebih cenderung banyak unsur percintaan, kasmaran, keruwetan rumah tangga, percekcokkan, pembunuhan. Semua ini yang pasti banyak unsur kekerasan, baik verbal maupun fisik," kata Hening kepada Kompas.com, Rabu (4/9/2019).
Hening mengatakan, jenis-jenis tayangan yang mengandung banyak kekerasan, baik verbal dan fisik, inilah yang menimbulkan dampak negatif ke sel saraf otak manusia.
"Episode demi episode dengan unsur kekerasan yang setiap hari kita lihat akan terekam di otak kita," terang Hening.