Oleh Dyan Widyaningsih dan Elza Samantha Elmira
UPAYA pencegahan kanker serviks/leher rahim di Indonesia akan lebih optimal bila lebih banyak laki-laki atau suami dilibatkan dalam program mendeteksi lebih dini kanker yang menyebabkan kematian belasan ribuan perempuan setiap tahun itu.
Penekanan ini sangat penting karena riset terbaru kami menunjukkan nilai-nilai patriarki dan tabu di masyarakat berkontribusi besar dalam mempengaruhi pengambilan keputusan oleh perempuan untuk melakukan tes deteksi dini kanker serviks atau tidak. Padahal, jenis kanker ini bisa diobati jika dideteksi lebih dini.
Namun, meski tes deteksi dini kanker serviks sudah diberikan secara gratis di beberapa wilayah di Indonesia, perempuan cenderung tidak memeriksakan dirinya dan salah satu alasannya karena dilarang oleh suami.
Selain nilai-nilai patriarki dan budaya, riset kami juga mengidentifikasi kemiskinan sebagai faktor lain yang menghambat perempuan melakukan tes deteksi dini kanker serviks.
Riset kami di lima kabupaten (Deli Serdang/Sumatra Utara, Cilacap/Jawa Tengah, Kubu Raya/Kalimantan Barat, Pangkep/Sulawesi Selatan, dan Timor Tengah Selatan/Nusa Tenggara Timur) pada 2017 menemukan di seluruh wilayah studi tersebut memang telah tersedia layanan tes IVA (inspeksi visual dengan asam asetat) gratis.
Total responden kami berjumlah 914 perempuan dengan usia 6-49 tahun yang pernah/sedang hamil dan pertanyaan terkait reproduksi wanita tidak boleh diwakilkan oleh anggota rumah tangga lainnya.
Seluruh pertanyaan pada modul kesehatan harus ditanyakan langsung kepada kepada perempuan dan dijawab langsung oleh mereka (tidak boleh diwakili oleh suami, orang tua, atau anggota rumah tangga lainnya).
Dalam konteks lokal tertentu, nilai-nilai yang dianut sebagian masyarakat, disadari atau tidak, dapat menghambat akses perempuan terhadap layanan tes IVA gratis.
Bagi sebagian masyarakat, pemeriksaan organ dalam perempuan masih dianggap tabu, kecuali jika dilakukan saat kondisi mendesak/darurat.
Sementara itu, nilai-nilai patriarki tercermin dari besarnya peran izin suami bagi perempuan untuk bisa ikut tes IVA. Tidak jarang, perempuan yang sudah mengantre di puskesmas terpaksa pulang karena suaminya melarangnya ikut tes deteksi kanker leher rahim.
Hambatan-hambatan semacam ini merupakan salah satu kontributor terhadap rendahnya tingkat tes IVA di seluruh wilayah studi.
Kita bisa belajar dari Cilacap dan Timor Tengah Selatan. Di dua daerah ini tokoh agama, baik laki-laki maupun perempuan, berperan aktif memberikan penyuluhan untuk mendorong perempuan ikut tes IVA.
Mereka juga menganjurkan para suami untuk mendukung istrinya memeriksakan diri. Biasanya mereka memanfaatkan kegiatan keagamaan, seperti pengajian atau misa gereja, sebagai media penyuluhan.
Kondisi tersebut menjadi salah satu kontributor jumlah perempuan yang melakukan tes IVA di Cilacap (8,44%) lebih banyak dibanding empat wilayah studi lainnya (4,22%).