Oleh Zulfakriza Z dan Dian Kusumawati
SETIAP tahun, terjadi 12.000-14.000 gempa bumi di seluruh dunia, tapi hanya sedikit yang getarannya terasa sampai ke permukaan bumi.
Dari yang sedikit itu, tahun lalu, misalnya, masyarakat di Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi Tengah, dan Banten merasakan serangkaian bencana alam mematikan terkait pergerakan kerak Bumi dan aktivitas gunung api.
Dengan posisinya yang berada di zona Cincin Api Pasifik, tempat beberapa lempeng tektonik Bumi bertemu, Indonesia memiliki banyak gunung api aktif dan kerap mengalami gempa bumi. Dengan demikian, masyarakat Indonesia akan lebih merasakan getaran bumi.
Namun getaran gempa tidak perlu dikhawatirkan karena siap atau tidak siap, getaran itu akan pasti terjadi. Sampai saat ini, belum ada alat yang mampu memprediksi secara akurat waktu terjadinya gempa besar ke depan.
Dalam konteks menghindari risiko yang lebih besar, yang dibutuhkan adalah mitigasi gempa dengan berbasis sains yang melibatkan warga dan pemerintah.
Saya tergabung dalam tim peneliti dari Kelompok Keahlian Geofisika Global Institut Teknologi Bandung, bersama Earth Observatory of Singapore (EOS) dan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), mempelajari secara lebih rinci tentang pola goncangan gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Salah satu caranya adalah merekam gempa-gempa susulan yang terjadi dengan memasang 13 unit seismograf (Gambar 1) di Lombok Utara, Barat, Timur, Tengah, dan Kota Mataram selama tiga bulan, sejak 3 Agustus sampai 20 Oktober 2018.
Temuan sementara dari riset ini, antara lain, rangkaian Gempa di Lombok pada akhir Juli hingga pertengahan Agustus 2018 tergolong langka karena pola seismisitas (goncangan di bagian kerak bumi) yang tidak biasa.
Disebut polanya tidak lazim karena kejadian gempa yang memiliki magnitudo (besaran energi seismik) besar dan merusak terjadi secara beruntun.
Dalam kasus Lombok, pola seismisitasnya tampak fluktuatif dan guncangan gempa makin kuat setelah gempa pertama pada 29 Juli 2018 bukan semakin lemah seperti gempa-gempa biasanya.
Berdasarkan data terbaru dari Stasiun Geofisika BMKG di Bali, gempa-gempa magnitudo 2,0-3,5 masih terjadi di Lombok. Gempa-gempa tersebut merupakan gempa susulan (aftershock) dari gempa yang terjadi pada Agustus 2018.
Secara siklus gempa, saat ini Lombok masih berada dalam fase post-seismic, artinya bagian kerak yang terganggu akibat gempa besar memasuki masa relaksasi menuju keseimbangan.
Gempa-gempa susulan yang terjadi setelah gempa utama memberikan gambaran tentang pola seismisitas yang dapat dijadikan acuan mempelajari sumber dan mekanisme gempa.