Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tsunami Selat Sunda: Mengapa Orang "Selfie" Saat Bencana?

Kompas.com - 27/12/2018, 15:30 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

KOMPAS.com - Tsunami Selat Sunda Sabtu lalu membawa sebuah fenomena baru. Beberapa masyarakat berbondong-bondong menyalurkan bantuan ke wilayah Banten dan Lampung.

Namun, tak sekedar memberi bantuan, beberapa orang justru asyik melakukan selfie di lokasi bencana. Fenomena ini bahkan menarik perhatian kantor berita asing seperti The Guardian.

Fenomena ini menurut psikolog kebencanaan Listyo Yuwanto terkair dengan social sensitivity.

Sensitivitas Sosial Rendah

"Dalam kondisi bencana seharusnya menunjukkan kepedulian terhadap yang mengalami bencana yang disebut dengan social sensitivity," ungkap Listyo melalui pesan singkat, Rabu (26/12/2018).

Beberapa bentuk kepedulian ini, menurut Listyo, bisa ditampilkan melalui memasang status di media jejaring sosial seperti deep condolences, doa, RIP, dan sejenisnya. Tujuannya adalah menunjukkan kepedulian dan empati.

Baca juga: Tsunami Selat Sunda: Kenapa Masyarakat Lebih Suka Berita Duka Lara?

Bantuan yang lain berupa pendampingan informasi, medis, fisik, dan psikologis kepada keluarga korban. Listyo mengungkap bahwa hal semacam ini bisa menunjukkan kepedulian, empati, tanggungjawab atas masalah sosial yang merupakan bentuk sentivitas sosial.

"Social sensitivity secara umum didefinisikan sebagai kemampuan menampilkan empati secara akurat terhadap kondisi, pikiran, dan perasaan orang lain, serta memiliki pengetahuan umum mengenai norma sosial, dan menerapkannya secara tepat," tutur Listyo.

"Saat bencana terjadi banyak orang hadir namun berfoto di lokasi bencana yang menunjukkan social sensitivity yang rendah, tidak peduli terhadap perasaan dan suasana duka yang terjadi," tegasnya.

Peran Media Sosial

Dia juga menambahkan, biasanya motivasi berfoto di tempat bencana juga tidak terlepas dari media sosial.

"Bencana seringkali menjadi trending topic sehingga mendorong orang datang dan berfoto kemudian digunakan sebagai update status dengan latar belakang foto area bencana dengan harapan mendapatkan apresiasi (like) ataupun komentar positif dari orang lain yang mampu membuat bangga orang yang mengupload," ucap Listyo.

"Kemajuan teknologi Internet salah satunya perkembangan media sosial di instrial wave 4.0 masih belum diikuti perilaku yang bijak dari penggunanya dalam hal social sensitivity," Listyo menegaskan.

Lunturnya Budaya Kolektif

Fenomena orang yang lebih senang berselfie dengan latar belakang lokasi bencana juga dihubungkan dengan lunturnya budaya kolektif oleh Listyo.

Baca juga: Pasca Tsunami Selat Sunda, Begini Rencana Pemerintah Terkait Mitigasi

"Keinginan membantu orang lain yang mengalami bencana dan lebih melakukan swa foto sebenarnya juga tidak terlepas dari mulai lunturnya budaya kolektivitas," kata Listyo.

Budaya kolektivitas yang dimaksud adalah kedukaan yang dialami orang lain juga membuat kedukaan bagi kita untuk empati dan peduli membantu.

"Masyarakat mulai banyak hidup berkompetisi dalam berbagai area kehidupan sehingga membuat kebersamaan menjadi berkurang," tegas Listyo.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau