Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Dakwaan pada Anak Krakatau tentang Kasus Tsunami Selat Sunda

Kompas.com - 23/12/2018, 18:03 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Tsunami melanda Selat Sunda pada Sabtu (22/12/2018) sekitar pukul 21.27 WIB. Sekitar 222 orang tewas, termasuk pemain bass Seventeen dan istri komedian Ade Jigo. Bagi ilmu pengetahuan, tsunami meninggalkan teka-teki.

Dalam konferensi pers pada Minggu (23/12/2018) dini hari, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mendakwa Anak Krakatau sebagai pemicu tsunami Banten.

Dakwaan tersebut dikeluarkan sebab berdasarkan pendataan, tak ada gempa di sekitar Selat Sunda yang bisa menyebabkan tsunami. Dakwaan diperkuat oleh bukti bahwa Anak Krakatau bererupsi 4 kali kemarin, terakhir pada 21.03 WIB atau 24 menit sebelum tsunami menerjang wilayah Serang.

Namun tudingan pada Anak Krakatau itu memicu perdebatan. Bagaimana mungkin gunung yang masih anak-anak itu bisa memicu tsunami? Semarah apa dia? Bagaimana mekanismenya?

Ahli vulkanologi Surono mengungkapkan, pengaruh aktivitas Anak Krakatau pada tsunami Banten seharusnya "bisa dikesampingkan".

Anak Krakatau masih gunung muda dan perlu terus menerus erupsi untuk tumbuh. Menurut Surono, erupsi gunung itu kemarin masih wajar dengan ketinggian lontaran material vulkanik hanya sekitar 1.500 meter. Untuk bisa menimbulkan tsunami, gunung setinggi 230 dari permukaan laut itu harus mengalami letusan hebat

"Tubuhnya harus terbongkar. Dan kalau itu terjadi, pasti abu vulkaniknya akan menyebar sampai Lampung dan Jawa," katanya ketika dihubungi Kompas.com, hari ini.

Baca juga: Ahli BPPT: Ada Indikasi Gelombang Pasang Dipicu Erupsi Anak Krakatau

Ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Abdul Muhari, mengatakan, Anak Krakatau bisa memicu tsunami tetapi mekanismenya mungkin tak seperti yang dikira.

Dia mengatakan, Anak Krakatau berbeda dengan ibunya, Krakatau. "Postur gunungnya sekarang sudah berbeda. Kubah dulu sudah terbongkar. Sehingga kita perlu hati-hati apakah mekanismenya memicu tsunami masih sama," jelas Muhari.

Anak Krakatau juga dikitari 3 pulau kecil. Jika tsunami dipicu material erupsi secara langsung, maka gelombangnya pasti sudah terhalang pulau yang mengelilinginya. "Asumsi tsunami terjadi seperti saat letusan 1883 tak bisa dipakai," katanya.

Erupsi bisa memicu tsunami tetapi secara tidak langsung, misalnya karena longsoran yang terjadi di luar pulau sekitar gunung. Namun untuk bisa memicu tsunami, longsoran juga harus dalam jumlah besar. "Sampai saat ini kita belum punya data jadi semua masih hipotesis," ungkap Muhari.

Surono mengatakan, jika memang tsunami disebabkan longsoran, maka letusannya juga harus besar. Menurutnya, erupsi kemarin tak cukup besar untuk menghasilkan longsoran yang bisa memicu tsunami. Dia menambahkan, kalau ada longsoran, luruhnya material ke dasar laut pasti menimbulkan getaran.

"Kalau ada alat yang bisa membaca getaran, seharusnya itu terbaca," katanya.

Muhari punya dugaan lain. Salah satu dasarnya adalah waktu sampai gelombang tsunami yang acak. Berdasarkan pendataannya, gelombang tsunami sampai di Kota Agung yang berjarak 111,5 km dari gunung hampir bersamaan dengan waktu sampai Pantai Marina yang berjarak 55 km, masing-masing pada pukul 21.27 WIB dan 21.35 WIB.

Baca juga: Kepala BMKG: Tsunami Banten dan Lampung Mirip Kejadian di Palu

Menurutnya, fakta itu menjadi masuk akal jika tsunami disebabkan oleh faktor cuaca. Fenomena itu disebut dengan meteo-tsunami. Perubahan tekanan atmosfer secara tiba-tiba dapat memicu gelombang besar yang menyerupai tsunami.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau