KOMPAS.com - Tsunami Selat Sunda Sabtu lalu membawa sebuah fenomena baru. Beberapa masyarakat berbondong-bondong menyalurkan bantuan ke wilayah Banten dan Lampung.
Namun, tak sekedar memberi bantuan, beberapa orang justru asyik melakukan selfie di lokasi bencana. Fenomena ini bahkan menarik perhatian kantor berita asing seperti The Guardian.
Fenomena ini menurut psikolog kebencanaan Listyo Yuwanto terkair dengan social sensitivity.
"Dalam kondisi bencana seharusnya menunjukkan kepedulian terhadap yang mengalami bencana yang disebut dengan social sensitivity," ungkap Listyo melalui pesan singkat, Rabu (26/12/2018).
Beberapa bentuk kepedulian ini, menurut Listyo, bisa ditampilkan melalui memasang status di media jejaring sosial seperti deep condolences, doa, RIP, dan sejenisnya. Tujuannya adalah menunjukkan kepedulian dan empati.
Baca juga: Tsunami Selat Sunda: Kenapa Masyarakat Lebih Suka Berita Duka Lara?
Bantuan yang lain berupa pendampingan informasi, medis, fisik, dan psikologis kepada keluarga korban. Listyo mengungkap bahwa hal semacam ini bisa menunjukkan kepedulian, empati, tanggungjawab atas masalah sosial yang merupakan bentuk sentivitas sosial.
"Social sensitivity secara umum didefinisikan sebagai kemampuan menampilkan empati secara akurat terhadap kondisi, pikiran, dan perasaan orang lain, serta memiliki pengetahuan umum mengenai norma sosial, dan menerapkannya secara tepat," tutur Listyo.
"Saat bencana terjadi banyak orang hadir namun berfoto di lokasi bencana yang menunjukkan social sensitivity yang rendah, tidak peduli terhadap perasaan dan suasana duka yang terjadi," tegasnya.
Dia juga menambahkan, biasanya motivasi berfoto di tempat bencana juga tidak terlepas dari media sosial.
"Bencana seringkali menjadi trending topic sehingga mendorong orang datang dan berfoto kemudian digunakan sebagai update status dengan latar belakang foto area bencana dengan harapan mendapatkan apresiasi (like) ataupun komentar positif dari orang lain yang mampu membuat bangga orang yang mengupload," ucap Listyo.
"Kemajuan teknologi Internet salah satunya perkembangan media sosial di instrial wave 4.0 masih belum diikuti perilaku yang bijak dari penggunanya dalam hal social sensitivity," Listyo menegaskan.
Fenomena orang yang lebih senang berselfie dengan latar belakang lokasi bencana juga dihubungkan dengan lunturnya budaya kolektif oleh Listyo.
Baca juga: Pasca Tsunami Selat Sunda, Begini Rencana Pemerintah Terkait Mitigasi
"Keinginan membantu orang lain yang mengalami bencana dan lebih melakukan swa foto sebenarnya juga tidak terlepas dari mulai lunturnya budaya kolektivitas," kata Listyo.
Budaya kolektivitas yang dimaksud adalah kedukaan yang dialami orang lain juga membuat kedukaan bagi kita untuk empati dan peduli membantu.
"Masyarakat mulai banyak hidup berkompetisi dalam berbagai area kehidupan sehingga membuat kebersamaan menjadi berkurang," tegas Listyo.
Dosen psikologi di Universitas Surabaya ini juga mengisahkan bahwa dia melihat sendiri fenomena ini saat membantu penanganan di Pandeglang.
"Seperti kasus bencana di Lombok dan Palu, di Banten kemarin juga banyak orang datang untuk selfie," kisahnya.
Menakar Sensitivitas Sosial
Berkaca dari kasus yang dilihatnya itu, Listyo mengajak kita untuk menakar kembali sensitivitas sosial.
"Cara sederhana menakar social sensitivity kita adalah, apakah kita mampu menjadi pendengar yang baik bagi orang lain?," ujarnya
"Apakah kita mampu hangat dalam berelasi dengan orang lain? Apakah kita memiliki kepedulian terhadap orang lain di sekitar kita? Apakah kita juga memiliki kepekaan terhadap kejadian-kejadian sosial di sekitar kita?," sambung Listyo.
Baca juga: Tsunami Selat Sunda Bisa Terjadi Lagi, tapi Kematian Karenanya Bisa Dihindari
Edukasi Masyarakat
Fenomena ini bukan tanpa solusi. Menurut Listyo, masyarakat bisa diedukasi mengenail hal ini.
"Edukasi yang mengarah sifatnya refleksi. Seperti merenungkan kembali makna tepo sliro...," kata Listyo.
"Artinya menempatkan diri sendiri pada kondisi korban dan keluarganya apakah bila dalam kondisi korban dan keluarga akan merasa seperti apa? Kemarahan dan ketidaknyamanan akan muncul," imbuhnya.
Rasa marah dan tidak nyaman ini nantinya yang akan membangkitkan lagi semangat kesetiakawanan nasional. Dengan kata lain, kesetiakawanan nasional bukan hanya sekedar slogan tetapi langkah nyata.
"Seperti di setiap kelurahan, RT atau RW perumahan mengkoordinasi bantuan apa yang bisa diberikan sehingga menumbuhkan kepekaan pada individu," tutur Listyo.
"Pendidikan keluarga dan sekolah yang mengajarkan ajaran kepedulian dan kasih sayang. Orangtua dan sekolah bisa memfasilitasi dan memberikan contoh kepada anak-anak sejak usia dini untuk peduli terhadap orang lain melalui perilaku sederhana seperti bakti sosial ataupun membantu teman," tambahnya.
Selain itu, Listyo menegaskan peran agama juga penting. Tidak hanya melalui aktivitas ibadah ritual terhadap Tuhan tetapi juga ditekankan relasi baik dan membantu sesama manusia untuk menumbuhkan humanistik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.