KOMPAS.com — PadaRabu (14/11/2018) kemarin, para peneliti Harvard baru saja menerbitkan sebuah laporan penelitian terkait diet. Para ahli nutrisi itu berhasil mengidentifikasi diet mana yang paling membakar kalori.
Laporan yang diterbitkan di British Medical Journal tersebut didasarkan kebenaran kejam bahwa ketika berat badan turun, tubuh hanya membuat penyesuaian yang sangat kecil sehingga sulit untuk menjaganya.
Penelitian yang dipimpin David Ludwig, profesor nutrisi di Harvard's T.H. Chan School of Public Health itu mengajukan cara agar kita bisa terus menjaga pembakaran metabolisme tubuh.
Cara yang diutarakan oleh Ludwig adalah dengan mengikuti diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat.
"Temuan kami menunjukkan bahwa strategi yang lebih efektif untuk menurunkan berat badan dalam jangka panjang adalah fokus pada pemotongan kerbohidrat olahan, bukan kalori," kata Ludwig dikutip dari LA Times via Inverse, Jumat (16/11/2018).
Hasil tersebut didapatkan setelah dia dan timnya mengamati pola makan 234 orang dewasa yang mengalami obesitas secara klinis.
Para responden kemudian mengikuti program penurunan berat badan selama 10 minggu dengan tujuan menurunkan berat badan mereka sebesar 10 persen.
Baca juga: Manakah yang Paling Sehat: Diet Keto, Mediterania, atau Vegan?
Di antara para peserta, hanya 164 orang yang berhasil melakukan hal itu. Selanjutnya, 164 orang tersebut diminta mengikuti satu di antara tiga diet pilihan.
Ketiga pilihan diet itu adalah diet karbohidrat tinggi (60 persen karbohidrat dan 20 persen lemak), diet kerbohidrat moderat (40 persen karbohidrat, 40 persen lemak), dan diet karbohidrat rendah (20 persen karbohidrat, 60 persen lemak).
Ketika para peserta diukur tingkat pengeluaran energi saat beristirahat, hasilnya diet rendah kerbohirat (diet ketiga) membakar lebih banyak kalori.
Singkatnya, temuan ini menunjukkan makan makanan yang tinggi karbohidrat menyebabkan kelebihan produksi insulin. Padahal, hormon ini membantu tubuh menyimpan glukosa dalam sel-sel lemak.
Dengan kata lain, pola makan yang tinggi karbohidrat menyebabkan sel-sel itu menimbun glukosa.
Sayangnya, timbunan glukosa tersebut mengurangi jumlah hormon lainnya. Jadilan tercipta sebuah lingkaran setan, untuk mengisi kekurangan hormon lain itu kita akan merasa lebih lapar.
Meski begitu, Ludwig mendorong adanya penelitian lanjutan mengenai hal ini. Itu karena penelitian ini tidak membuktikan sepenuhnya hipotesis hubungan karbohidrat dan insulin.
Namun, untuk sekarang, penelitian ini telah memberi bukti bahwa kalori dari berbagai sumber punya efek sangat berbeda pada tubuh.
Baca juga: Halo Prof! Apa Efek Jangka Panjang dari Diet OCD?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.