Tidak hanya oleh para pemeran utama, kekeliruan berlogika juga menjangkiti para pendukung.
Salah satu pendukung Prabowo mengungkapkan ketidakpercayaannya pada data BPS karena BPS adalah bagian dari pemerintah.
Pernyataan ini mengandung kekeliruan berlogika karena hanya menilai keabsahan data dengan hanya berpatokan pada asosiasi dari kelompok tersebut (BPS sebagai insitusi di bawah pemerintah) dan bukan pada metodologi penelitiannya.
Lalu, seorang simpatisan petahana berkomentar di Instagram tentang demonstrasi terhadap kebijakan pemerintah, seorang netizen menulis :
“Duh. Daripada teriak-teriak di jalan, mending kuliah yang bener. Ngerti isu nggak? IP jeblok juga kan. Kasihan orang tuanya susah-susah biayain kuliah.”
Sesat pikir di sini adalah pembicara mengalihkan fokus argumentasi dari ‘boleh tidaknya demonstrasi’ ke ‘mending kuliah’. Hal ini karena jika perdebatan difokuskan ke hukum boleh tidaknya demontrasi dilakukan, si pembicara tak memiliki posisi yang kuat.
Bentuk salah logika yang sering dijumpai pada kampanye pilpres
Jenis-jenis kesalahan berpikir jumlahnya mencapai ratusan. Namun dalam kampanye pilpres Indonesia, jenis kesalahan logika yang sering terjadi adalah:
1. Red herring fallacy
Red herring adalah ikan merah yang baunya menyengat sehingga bisa mengalihkan perhatian. Jadi Red herring fallacy terjadi ketika pembicara mengalihkan fokus argumentasi dari inti perdebatan agar argumentasi lebih gampang dimenangkan. Contohnya seperti yang terjadi pada pernyataan “mending kuliah daripada ikut demo di jalan” di mana inti perdebatan seharusnya adalah “boleh tidaknya demonstrasi”
Baca juga: Banyak Petugas Damkar Meninggal karena Serangan Jantung, Mengapa?
2. Strawman fallacy
Sesat pikir strawman atau orang-orangan jerami adalah jenis kekeliruan logika yang mereduksi makna argumen lawan diskusi sehingga lebih mudah diserang seperti orang-orangan dari jerami. Contohnya pernyataan Prabowo yang merubah makna ‘kemunduran ekonomi’ era Jokowi menjadi frasa ‘kehancuran perekonomian’. Pernyataan ini mengandung potensi kekeliruan berlogika karena kemunduran dalam beberapa sendi ekonomi Indonesia tak menunjukkan definisi kehancuran ekonomi sebuah negara, termasuk Indonesia.
3. Ad hominem fallacy
Sesat pikir yang menyerang pribadi lawan dan bukan pada esensi argumentasinya. Contohnya ketika seseorang mengaitkan kemampuan memimpin seseorang dengan usianya. Padahal hasil penelitian menunjukkan bahwa keefektifan memimpin tak memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan umur.
4. Appeal to emotion fallacy