Ketika pembicara mengungkit hal-hal emosional yang tidak relevan dengan argumentasi utama. Contohnya ketika keberpihakan Jokowi kepada rakyat disimpulkan dari gaya berpakaian yang sederhana atau latar belakang sosialnya.
5. False dichotomy fallacy
Ketika dua pilihan dihadirkan sebagai sesuatu yang harus dipilih sementara opsi yang mengakomodasi keduanya masih mungkin diambil atau diperdebatkan. Misalnya pernyataan ‘kalau Anda Jokowi berarti Anda anti-Prabowo’. Pernyataan tersebut sesat pikir karena bisa saja seseorang menyukai beberapa ide Prabowo walaupun setelah menimbang dengan matang orang tersebut memilih Jokowi, tanpa harus anti terhadap ide Prabowo.
6. Faulty generalisation fallacy
Kekeliruan ini terjadi ketika seseorang mengambil kesimpulan dari contoh yang tidak signifikan lalu mengambilnya sebagai dasar generalisasi secara serampangan. Contohnya adalah seperti dalam kalimat ‘Prabowo memilih Sandiaga Uno karena Pak Prabowo peduli generasi muda’ atau ‘Jokowi memilih Ma’ruf Amin karena Jokowi peduli ulama".
Dua pernyataan tersebut rentan kekeliruan berlogika karena bisa saja pilihan ini adalah kompromi politik dan tidak serta merta bisa dimaknai sebagai kepedulian terhadap segmen masyarakat tertentu secara nasional atau menyeluruh. Contoh lain yang berpotensi keliru adalah ketika Sandiaga Uno mengambil contoh menipisnya ukuran tempe menjadi seukuran kartu ATM sebagai indikator kondisi perekonomian masyarakat Indonesia.
Tidak hanya di Indonesia
Tak hanya di Indonesia, kekeliruan logika juga banyak terjadi di kancah politik dunia.
Debat pilpres Amerika Serikat tahun 2016 dipenuhi kekeliruan logika yang memanfaatkan bias kognitif pemilih.
Slogan Make America Great Again (Buat Amerika Jaya Kembali) yang digaungkan oleh Donald Trump bersandar pada good old days fallacy (kekeliruan masa lalu yang indah) atau declinism bias fallacy (kekeliruan bias kemunduran) dimana Amerika dicitrakan mengalami kemunduran ekonomi atau krisis yang parah padahal angka-angka menunjukkan begitu banyak perbaikan dalam berbagai sendi kehidupan di Amerika termasuk di bidang ekonomi.
Baca juga: Orang Indonesia dan Pertanyaan “Kapan Nikah?”
Lawan Trump, Hillary Clinton juga melakukan kesalahan berlogika dalam kampanyenya.
Dalam sebuah pidato, Clinton membingkai argumennya bahwa hanya ada dua pilihan yang dimiliki masyarakat Amerika yaitu Amerika yang “merasa ketakutan, kurang aman, dan tak terbuka” dengan Amerika yang percaya diri dan kuat akan hidup menjaga keamanan dan mengembangkan ekonomi".
Hillary mengasosiasikan Trump dengan pilihan yang pertama. Pernyataan ini merupakan bentuk false dilemma fallacy (kekeliruan dilema) karena pilihan ketiga bisa saja dimunculkan.
Apa yang bisa dilakukan
Diperlukan kesadaran kolektif tentang fenomena kekeliruan berlogika di panggung politik. Sesat pikir dalam kampanye politik berbahaya karena bias kognisi para pemilih bisa menjauhkan mereka dari kebenaran argumen yang disampaikan.