Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemenkes Bantah 238 WNI dari Wuhan Tidak Dites Corona karena Mahal

Kompas.com - 02/03/2020, 18:10 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kementerian Kesehatan membantah isi sebuah artikel yang menyebutkan bahwa 238 Warga Negara Indonesia yang dipulangkan dari Wuhan, China tidak dites Covid-19 karena tidak adanya gejala dan biaya pemeriksaan yang mahal.

Artikel tersebut telah diterbitkan oleh The Economist, dan telah dikutip oleh beberapa media di Indonesia.

"Negara segini kok dibilang gak punya duit. Nggaklah kalau masalah biaya," kata Achmad Yurianto selaku Sekretaris Ditjen Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, saat dihubungi Kompas.com, Senin (2/3/2020).

"Alah, wong kita aja sekarang punya spesimen untuk mereka ribuan orang," imbuhnya.

Baca juga: Update Virus Corona 1 Maret: 89.212 Orang di Indonesia & 68 Negara Terinfeksi

Yurianto menjelaskan bahwa selama 238 WNI dari Wuhan itu diobservasi dan dikarantina di Natuna selama 14 hari, mereka sama sekali tidak menunjukkan gejala atau indikasi yang patut diperiksa secara komprehensif.

"Ya waktu itu tidak diperiksa karena tidak ada indikasi untuk diperiksa, memeriksa itu harus ada indikasinya," kata dia.

Prosedur ini telah mengikuti standar global yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Hal ini berbeda dengan kasus yang terjadi di kapal pesiar Diamond Princess dan World Dream.

Yurianto berkata bahwa paradigma telah berubah sejak kasus kapal pesiar Diamond Princess. Di kapal Diamond Princesss dan World Dream, ada banyak kasus infeksi tanpa gejala.

Baca juga: 2 WNI Positif Corona, Menkes Imbau Warga Tidak Paranoid

Itulah sebabnya, WNI atau Anak Buah Kapal (ABK) yang baru dipulangkan dari kedua kapal tersebut diperiksa secara menyeluruh dengan mengambil spesimen mereka di Indramayu, tanpa perlu menunjukkan gejala-gejala fisik.

Menanggapi hal yang sama, saat dihubungi terpisah, Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Prof. dr. Amin Soebandrio, PhD, SpMK(K), mengatakan bahwa isu tersebut merupakan isu yang sudah lama ada, dan sudah diklarifikasi oleh Kementerian Kesehatan.

"Saya kira itu wartawan salah quote," kata dia.

238 WNI yang dipulangkan dari Wuhan, China itu tidak diperiksa laboratorium, karena secara klinisnya mereka tidak ada gejala, dan syarat utama pemeriksaan laboratorium pada saat itu (sebelum kasus Diamond Princess) adalah ketika mereka menjadi suspek.

Baca juga: Viral Mpon-mpon Bisa Tangkal Virus Corona, Ini Penjelasan Para Ahli

Untuk diketahui, suspek adalah orang yang memiliki kontak dengan pasien positif Covid-19 dan juga ada gejala-gejala penyakitnya, seperti panas tinggi melebihi 38,5 derajat celsius, batuk, pilek, sesak napas dan nyeri lainnya.

Jika WNI itu memiliki gejala, maka sebenarnya tidak boleh sama sekali keluar dari Wuhan.

Sementara itu, yang terjadi di Natuna adalah ratusan WNI itu diobservasi. Jika timbul gejala, baru spesimennya akan diperiksakan di laboratorium.

Hal itu sesuai dengan pedoman yang telah diberikan oleh WHO.

"Soal mahal sih memang pemeriksaannya mahal, (tapi) saya rasa menggandengkan dua statement itu jadi interpretasinya salah," tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau