Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/02/2020, 12:03 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Viralnya penggalan artikel seorang profesor yang menyebutkan bahwa infeksi corona penyebab badai sitokin bisa ditangkal dengan curcumin menimbulkan kesalahpahaman di antara masyarakat.

Penggalan pernyataan viral itu dinyatakan oleh seorang Guru Besar Biokimia dan Biologi Molekuler Universitas Airlangga, Profesor Dr C A Nidom drh MS, dan dimuat oleh carijamu.com dengan judul pernyatan "Mengapa Indonesia Bebas Corona?".

"Infeksi corona high pathogenic yang terjadi di paru tersebut mengakibatkan terjadi badai sitokin sebagai proses biologis. Badai sitokin ini bisa ditangkal dengan curcumin yang banyak terkandung dalam temulawak, jahe, kunyit, dan serhe yang dikonsumsi harian oleh masyarakat Indonesia," ujar kutipan tersebut.

Dikombinasikan dengan judul dan momennya, banyak masyarakat yang lantas salah paham dan mengira bahwa maksud dari kutipan itu adalah curcumin bisa menangkal Virus Corona Wuhan atau Covid-19.

Baca juga: Vaksin Covid-19, Kenapa Bikinnya Perlu 18 Bulan?

Namun, Nodim telah menegaskan bahwa pernyataan yang ia keluarkan tersebut terkait dengan virus corona flu burung (H5N1), dan didasarkan pada riset praklinis terhadap flu burung. Jadi, bukan tentang virus corona SARS-Cov-2 yang menyebabkan Covid-19.

"Yang agak lewat dari berita tersebut, formulasi curcumin, langsung dihubungkan dengan Covid-19, padahal virusnya saat itu belum ada," kata Nodim, seperti dilansir dari Tempo.co, Jumat (14/2/2020).

Bagaimana kata ahli Covid-19?

Kutipan yang dihubungkan dengan Covid-19 ini juga mendapat sorotan dari ahli medis lainnya.

Konsultan Paru Sub Infeksi RSUP Persahabatan, dr Erlina Burhan MSc SpP(K), menyebutkan bahwa memang benar Covid-19 juga dapat menyebabkan badai sitokin pada paru pasien.

Akan tetapi, perihal kemampuan curcumin dalam menangkal badai sitokin akibat Covid-19, Erlina mengaku tidak bisa menjawab kaitannya tersebut.

Hal itu karena hingga saat ini, belum ada kajian atau bukti ilmiah mengenai curcumin dan badai sitokin, khususnya yang disebabkan oleh virus Corona Wuhan atau Covid-19.

Baca juga: Ada Virus Corona Kelelawar di Gorontalo dan Garut? Ini Penjelasan Ahli

"Bahwa curcumin bisa meningkatkan sistem imun, oke, karena itu memang dianggap jamu dan obat tradisional, tapi kalau sudah badai sitokin kita enggak bisa lagi, itu harus tindakan medis," ucap dia.

Senada dengan Erlina, Ahli Imunitas Prof Dr dr iris Rengganis SpPD-KAI, berkata bahwa ahli medis belum bisa menyatakan suatu obat atau prosedur itu baik atau berhasil jika tidak ada kajian ilmiahnya.

Namun, diakui Iris, di Indonesia sendiri memang sudah ada tanaman herbal yang terbukti ilmiah dapat meningkatkan imun atau sistem kekebalan tubuh untuk melawan berbagai organisme jahat yang mencoba menyerang tubuh.

Racikan atau tanaman herbal yang sudah terbukti secara klinis ini disebut dengan fitofarmaka.

"Ada tanaman herbal yang meningkatkan imun sistem tubuh. Tapi ada takaran dan ada yang sudah memiliki evidence-based atau bukti ilmiahnya. Sebutannya sekarang fitofarmaka. Itu tetap herbal, sudah terukur dan ada kajian ilmiahnya," ujarnya.

Baca juga: Ada Virus Corona Kelelawar di Gorontalo dan Garut? Ini Penjelasan Ahli

Ilmuwan dan juga ahli medis mendukung sekali tanaman-tanaman herbal dapat menjadi obat dari berbagai penyakit.

Namun, tetap harus dengan kajian secara menyeluruh terlebih dahulu. Sebab, ramuan atau racikan tanaman herbal yang tidak sesuai porsi kelola dan juga takarannya justru akan menyebabkan kondisi kesakitan lainnya.

"Rebusan apapun, jika suhunya kelebihan, zat aktifnya hilang dan tinggal toksinnya saja. Justru itu berbahaya. Jadi kalau mau, coba yang sudah melalui kajian ilmiah saja," imbuh Erlina.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Rekomendasi untuk anda

Terkini Lainnya

Berapa Lama Bumi akan Bertahan?

Berapa Lama Bumi akan Bertahan?

Fenomena
Apa Saja Objek yang Paling Terang di Tata Surya?

Apa Saja Objek yang Paling Terang di Tata Surya?

Oh Begitu
Seperti Apa Permukaan Matahari?

Seperti Apa Permukaan Matahari?

Oh Begitu
Analisis BMKG Gempa Swarm di Kabupaten Bogor

Analisis BMKG Gempa Swarm di Kabupaten Bogor

Oh Begitu
Bagaimana Cara Mycoplasma Pneumoniae Menular?

Bagaimana Cara Mycoplasma Pneumoniae Menular?

Oh Begitu
Cara Menjadikan Belajar sebagai Kebiasaan Sehari-hari

Cara Menjadikan Belajar sebagai Kebiasaan Sehari-hari

Prof Cilik
Fosil Ungkap Dulu Nyamuk Jantan Juga Pengisap Darah

Fosil Ungkap Dulu Nyamuk Jantan Juga Pengisap Darah

Oh Begitu
Apakah Teh Putih Kaya Antioksidan dan Antimikroba?

Apakah Teh Putih Kaya Antioksidan dan Antimikroba?

Oh Begitu
Bagaimana Astronot Berkomunikasi di Stasiun Luar Angkasa?

Bagaimana Astronot Berkomunikasi di Stasiun Luar Angkasa?

Fenomena
Bayi Mampu Kenali Irama Musik sejak Baru Lahir

Bayi Mampu Kenali Irama Musik sejak Baru Lahir

Kita
Asam Folat dan Folat, Beda atau Sama?

Asam Folat dan Folat, Beda atau Sama?

Oh Begitu
Apakah Planet Jupiter Memiliki Permukaan Padat?

Apakah Planet Jupiter Memiliki Permukaan Padat?

Oh Begitu
Inilah Bowie, Lobster Setengah Jantan dan Setengah Betina yang Sangat Unik

Inilah Bowie, Lobster Setengah Jantan dan Setengah Betina yang Sangat Unik

Oh Begitu
5 Cara Menguatkan Daya Tahan Tubuh Anak agar Tidak Mudah Sakit

5 Cara Menguatkan Daya Tahan Tubuh Anak agar Tidak Mudah Sakit

Oh Begitu
Di Mana Habitat Buaya Nil?

Di Mana Habitat Buaya Nil?

Oh Begitu
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com