Hal tersebut diungkapkan oleh Carol Shoshkes Reiss, profesor biologi dan ilmu saraf di New York University yang tak terlibat dalam penelitian.
"Saya senang mengetahui plasma dari para penyintas sedang diuji. Namun mereka perlu mengendalikan kemungkinan efek dari perawatan," ungkap Reiss, seperti dikutip dari Live Science, Jumat (14/2/2020).
Baca juga: Dugaan Covid-19 Tak Teridentifikasi di Indonesia, Ini Kata Ahli Kita
Keraguan soal pendekatan ini juga disebutkan oleh Dr. Eric Cioe-Peña, direktur kesehatan global di Northwell Health New York.
Menurutnya akan lebih baik jika melakukan proses ilmiah untuk mencoba dan mempelajari perawatan menggunakan plasma darah sebelum memberlakukannya.
"Saya pikir perawatan itu merupakan ide yang bagus tetapi lebih baik melakukan prosedur normal untuk memastikan aman dan efektif sebelum diujikan pada seseorang," kata Cioe-Peña.
Antibodi sendiri merupakan protein yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus, bakteri, atau zat asing lainnya.
Namun dibutuhkan waktu bagi tubuh untuk meningkatkan antibodi yang sama sekali baru. Jadi jika ada virus atau bakteri yang sama mencoba menyerang lagi di masa depan, tubuh akan mengingat dan dengan cepat menghasilkan pasukan antibodi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.