Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banjir Jakarta Jadi Sorotan Internasional, Ini Penjelasan Ahli

Kompas.com - 25/01/2020, 19:33 WIB
Ellyvon Pranita,
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Banjir yang melanda DKI Jakarta yang melanda di penghujung tahun 2019 hingga awal tahun 2020, menjadi sorotan para ilmuwan secara internasional.

Hujan deras yang mengguyur sebagian besar wilayah ibukota Indonesia itu terjadi pada 31 Desember 2019, dan berlangsung hingga 1 Januari 2020.

Berdasarkan rilis dari Yayasan Indonesia Cerah kepada Kompas.com, Sabtu (25/1/2020), para ilmuwan mengaitkan hubungan antara fenomena curah hujan ekstrim yang melanda Jakarta dan sekitarnya awal tahun itu dengan perubahan iklim.

Director of the Earth System Science Center, Pennsylvania State University, Profesor Michael Mann, menyebutkan banjir yang melanda Jakarta baru-baru ini telah memecahkan rekor sebelumnya.

Baca juga: 3 Fakta Soal Toa Banjir Jakarta, dari Beranggaran Rp 4 Miliar hingga Tuai Kritik

Hal ini menyerupai pola peristiwa curah hujan ekstrem yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Satu-satunya alasan kenapa ini terjadi, kata Micahel, karena adanya siklus hidrologi yang menjadi semakin intens akibat terjadinya pemanasan bumi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.

Sementara itu, ilmuwan Senior dari Bagian Analisis Iklim, Pusat Nasional Penelitian Atmosfer, Amerika Serikat, Dr Kevin E Trenberth, mengatakan perubahan iklim disebabkan oleh adanya peningkatan emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca.

Akibat aktivitas manusia itu, akan menyebabkan sejumlah tempat, tidak terjadi hujan.

Baca juga: Kilas Balik Banjir Jakarta 1996: Banjir Terburuk Tahun 1990-an yang Melumpuhkan Aktivitas Warga

Namun, pada saat bersamaan terjadi kandungan air yang lebih tinggi di atmosfer dan jumlahnya meningkat sebesar 10 persen dibandingkan tahun 1970.

Atmosfer dapat menyimpan kandungan air lebih banyak 7 persen pada tingkat pemanasan per derajat celcius.

Sementara itu, di tempat hujan telah mencapai atmosfer, uap air telah terkumpul, menyebabkan hujan lebih deras 10 hingga 30 persen.

Kelembapan ekstra menambah 10 persen, tetapi kelembapan juga memperkuat badai, sehingga mereka menjadi lebih intens dan lebih tahan lama atau keduanya memberikan tambahan hingga 10 persen.

"Ini berlaku di mana-mana tetapi daru presentasenya, jumlah paling besar ialah di seluruh Indonesia," kata Trenberth.

Trenberth menambahkan Indonesia juga dipengaruhi oleh topografi dan pegunungan yang dapat membantu memusatkan curah hujan dan banjir.

CO-leader kelompok prediksi iklim, Barcelona Supercomputing Center, Spanyol, Dr Markus Donat, menjelaskan atmosfer yang lebih hangat bisa menampung lebih banyak air.

Baca juga: Ahli LIPI: Banjir Jakarta Bukan Kejadian Rutin, tapi Risiko Bencana

Lautan yang lebih hangat akan melepaskan lebih banyak uap air ke atmosfer.

"Oleh karena itu, kami berharap lebih banyak peristiwa presipitasi yang terjadi di iklim yang lebih hangat. Ini berarti sistem cuaca yang menyebabkan banjir di Jakarta hari ini, menunjukkan suhu dunia yang telah menghangat sekitar 1 derajat celcius selama 150 tahun terakhir," tutur Markus.

Hal inilah, kata Markus, menghasilkan lebih banyak curah hujan daripada yang diberikan oleh sistem cuaca yang sama dalam iklim yang lebih dingin tanpa pemanasan yang disebabkan manusia.

Baca juga: Ahli LIPI: Hadapi Banjir Jakarta dengan Adaptasi yang Transformatif

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau