KOMPAS.com - Pakar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, ada tiga aspek yang dapat diselesaikan terkait persoalan banjir yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya.
Disampaikan Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI Galuh Syahbana Indrapahasta, bencana banjir DKI Jakarta adalah bukti pengelolaan buruk terkait tiga aspek yang saling berkaitan.
Ketiga aspek yang dimaksudkan tersebut adalah teknis, ekologi dan sosial.
Ditegaskan Galuh, ketiga aspek ini perlu diintervensi sehingga menghasilkan sistem ruang yang mempunyai resiliensi lebih baik terhadap banjir.
Baca juga: Banjir Jakarta 2020, Bukti Sudah Saatnya Mitigasi Bencana Radikal
"Persoalan infrastruktur tentu menjadi salah satu bagian penting dari upaya untuk mitigasi banjir di Jakarta," kata Galuh dalam acara bertajuk Banjir Ibu Kota: Potret Aspek Hidrologi dan Ekologi Manusia di Jakarta, Selasa (7/1/2019).
Dalam sistem teknis yang disoroti oleh Galuh adalah optimalisasi sistem dan manajemen Banjir Kanal Barat (BKB), Banjir Kanal Timur (BKT), sistem drainase, pompa atau polder.
"Apalagi sistem drainase di perumahan, kantor-kantor, ataupun jalanan, itu tidak terlalu besar, juga tidak pernah ada perncanaan yang matang sebelum membangun fasilitas atau bangunan," ujarnya.
Perencaan yang disebutkan bukanlah hanya sekadar rencana membangun drainase sebagai tempat penampungan air, melainkan mendetail ke penyerapan air di dalam tanah, serta dampak buruknya saat drainase yang dibuat terlalu kecil ataupun tidak terawat.
Termasuk badan jalanan, kata Galuh, dahulu orang membuat jalan bentuknya seperti tempurung kura-kura, di mana ketika hujan terjadi, air tidak menggenangi badan jalan, dan justru akan segera mengalir ke pinggiran jalan.
"Saat ini pompa menjadi yang paling krusial sebenarnya, tetapi memang belum optimal," tuturnya.
Dalam paparannya, Galuh mengatakan adanya peningkatan resiliensi masyarakat.
"Adanya upaya perubahan perilaku masyarakat sehingga menghasilkan perilaku yang lebih ramah lingkungan," paparnya.
Sungai selalu dijadikan sebagai halaman belakang atau dijadikan hal yang tidak begitu dipedulikan oleh masyarakat.
Padahal menurut Galuh, seharusnya sungai dijadikan sebagai halaman depan atau menjadi hal yang diprioritaskan untuk dijaga dengan baik oleh semua elemen masyarakat.
Hal ini terbukti dari produksi sampah Jakarta yang mencapai 0,5 sampai 0,8 kilogram per orang per hari, sebagian besar memenuhi sungai yang dijadikan sebagai tempat sampah komunal masyarakat.