Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ahli LIPI: Hadapi Banjir Jakarta dengan Adaptasi yang Transformatif

Kompas.com - 11/01/2020, 10:05 WIB
Ellyvon Pranita,
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Tim Redaksi

KOMPAS.com- Adaptasi yang transformatif merupakan hal fundamental yang perlu dilakukan dalam menghadapi persoalan banjir di Jakarta dan sekitarnya.

Mengurangi keterpaparan atau meningkatkan kapasitas menghadapi banjir, menjadi bentuk adaptasi yang dapat dilakukan.

Peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gusti Ayu Ketut Surtiari, mengatakan kajian sosial selalu jarang diambil sebagai pertimbangan dalam membuat kebijakan penanggulangan bencana.

Baca juga: Ahli LIPI Sebut Banjir Jakarta Berasal dari Hilir, Bukan Hulu

Ayu menuturkan adaptasi adalah tindakan untuk mengatasi dampak, yang dapat dilakukan dengan mengurangi kerentanan dan keterpaparan dampak buruk dari bencana.

Bahkan, kata dia, seharusnya adaptasi dilakukan tidak hanya mengatasi dampak secara sederhana atau dalam pola pemikiran jangka pendek saja.

Melainkan dapat dilakukan juga untuk mencari manfaat atau keuntungan dari tindakan tersebut dalam jangka panjang.

Ayu mengaku pernah melakukan penelitian terkait adaptasi yang dilakukan masyarakat rawan banjir di Jakarta Utara sejak 2015 sampai 2017.

Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan terjadinya adaptasi yang tidak sejalan di berbagai level yang tidak sejalan.

Risiko mitigasi berpotensi jadi bencana baru

Pemerintah, selalu mengutamakan pada pembangunan infrastruktur, tetapi kata Ayu, ini menjadi mitigasi yang pasif, atau memberikan ruang yang lebih kepada air.

Mitigasi melalui pembangunan infrastruktur, tidak sedikit yang justru saat terjadi kerusakan mendatangkan risiko bencana baru yang lebih di masa yang akan datang.

Serta, pembangunan infrastruktur pengendalian banjir, belum selaras dengan pemberian pemahaman kepada masyarakat sekitar tentang fasilitas itu.

Alhasil, kata Ayu, dalam penelitiannya, masyarakat tidak tahu pasti manfaat dan konsekuensi dari fasilitas pengendali banjir yang dibangun tersebut.

"Saat ditanya, mereka banyak menjawab, nggak tahu waduk itu dibangun oleh siapa, pemerintah atau perusahaan, terus itu sampai kapan, juga paling yang menerima manfaatnya juga orang-orang itulah, bukan untuk kami," tutur Ayu.

Sementara, pelaku industri yang menjadi stakeholders lainnya, terlalu melindungi kawasan bangunan yang mereka bangun, dengan berfokus kepada pertimbangan ekonomi semata.

"Misal, saya tanya ke masyarakat sekitar (pesisir) Jakarta Utara itu, ini banjirnya dari mana saja datangnya. Salah satu yang disebutkan adalah aliran pembuangan air dari apartement disekitar mereka," kata Ayu dalam sebuah acara bertajuk Banjir Ibu Kota: Potret Aspek Hidrologi dan Ekologi Manusia, Jakarta, Selasa (7/1/2020).

Baca juga: Banjir Jakarta 2020, Bukti Sudah Saatnya Mitigasi Bencana Radikal

Sedangkan masyarakat, dalam melakukan adaptasi terhadap persoalan bencana banjir ini, mereka cenderung akan membangun ketahanan rumah dan lingkungan sekitar mereka sendiri.

Masyarakat melakukan adaptasi terhadap banjir dengan penambahan ruangan yaitu meninggikan lantai, atau menahan air di sekitarnya. 

Caranya dengan tumpukan pasir, dan tujuannya agar air tidak masuk ke rumah. Namun, ini pemahaman sederhana yang keliru.

Menurut Ayu, hal ini hanyalah adaptasi bencana banjir yang justru akan menimbulkan persoalan berlarut dan permasalahan baru lainnya dan tanpa disadari akan lebih besar.

"Adaptasi yang selama ini dilakukan hanyalah adaptasi jangka pendek yang cenderung menyebabkan risiko baru," kata dia.

Ayu sedikit menyoroti, adaptasi berupa tanggul dan pemanfaat wilayah di sekitar waduk, tanggul serta sungai-sungai di Jakarta.

Menurut Ayu, tanpa disadari, tanggul bukanlah solusi tanpa adanya risiko bencana yang lebih besar di masa mendatang.

"Kalau tanggul itu rusak, itu dampaknya lebih dari tsunami," ujar Ayu.

Di sisi lain, masyarakat kurang mengerti dan kurang peduli terhadap fasilitas ataupun infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah.

Tidak sedikit masyarakat, yang justru memanfaatkan ruang di sekitar batas tanggul atau waduk yang dibuat, untuk membangun bangunan atau tempat berteduh mereka.

Jakarta perlu adaptasi transformatif

Sedangkan, karena banjir di Jakarta dan sekitarnya ini merupakan risiko bencana, maka adaptasi yang transformatif perlu dilakukan.

Adaptasi yang transformatif ini sudah melewati tahap membangun ketahanan dalam jangka panjang.

Perlu adanya keselarasan pemahaman dengan visi jangka panjang mengatasi banjir Jakarta ini.

"Kita itu susahnya, kepemimpinan itu per lima tahun ganti, dan itu setiap kebijakan per periode menjabat berbeda, meski tujuannya sama tapi adalah beloknya dari kebijakan periode sebelumnya," kata dia.

Hal inilah yang justru membuat target utama dari visi pembangunan sebelumnya belum tercapai hingga saat ini, dan tetap menjadi tantangan hingga nanti.

"Padahal tantangan besar kita adalah tidak ada risiko baru dari adaptasi yang sudah dilakukan," ucap Ayu.

Baca juga: Banjir Jakarta 2020, LIPI Sebut 3 Aspek Ini Perlu Diperbaiki

Adaptasi ini harus dilakukan di semua level masyarakat mulai dari individu, kelompok masyarakat, rumah tangga, komunitas, regional, hingga negara.

Masing-masing level memiliki rasionalitas untuk mengambil keputusan atas tindakan yang akan dilakukan. Seluruh level tersebut harus sinergis dan tidak saling menghambat satu dengan yang lain. 

Pemerintah sebaiknya melibatkan masyarakat dengan memberikan informasi dan berdialog untuk program pengendalian banjir yang dilakukan pemerintah. Serta, memastikan adanya peluang meningkatkan kapasitas penduduk yang terpapar bahaya banjir.

Mendorong kemauan dan keinginan untuk beradaptasi, karena keputusan untuk beradaptasi ditentukan oleh persepsi risiko banjir yang dapat terbentuk oleh pengetahuan, pengalaman dan juga faktor budaya.

"Bisa melalui pendekatan ketokohan, kita bisa menjadikan tokoh berpengaruh setempat untuk memberikan pengertian itu ada waduk, ada tanggul, kalau tidak kita jaga maka kita juga akan kena risiko bencana nanti," ujarnya.

Perihal faktor ketokohan setempat atau orang yang berpengaruh di lingkungan itu seperti pemangku adat dan tokoh agama.

Menurut Ayu, masyarakat juga harus didorong untuk mengubah pola pikir bahwa menghadapi banjir bukan hanya persoalan sehari atau seminggu pascabanjir.

Melainkan melawan banjir ini adalah bentuk perlawanan jangka panjang dengan waktu yang tidak pasti.

Baca juga: Banjir Jakarta, Intensitas Curah Hujan Lebih Lebat dari Sebelumnya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau