Upaya penyelesaian masalah kesehatan ibu melalui perbaikan akses kualitas pelayanan kesehatan, perbaikan gizi melalui pemberian makanan tambahan pada ibu hamil dan balita, merupakan upaya-upaya yang dilakukan di hilir. Sementara akar masalah adalah kondisi ibu sebelum hamil sudah kurang gizi.
Berbagai intervensi yang telah dilakukan oleh pemerintah selama beberapa dekade tampaknya belum banyak memberi hasil yang signifikan. Ini ditandai dengan tingginya angka kematian ibu (masih 305 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015) dan bayi yang baru lahir (masih 19/1.000 pada 2012), stunting (30,8% pada 2018), anemia pada ibu hamil (48,9% pada 2018), kehamilan berisiko, dan cepatnya laju pertumbuhan penduduk.
Kesehatan ibu dan bayi ini menjadi tolok ukur penting dalam menandai kesejahteraan suatu negara.
Sedangkan anemia pada ibu hamil berhubungan dengan tingginya angka kematian ibu. Karena kekurangan zat besi ini akan meningkatkan risiko terjadinya kematian ibu sekurang-kurangnya 20%, terutama karena perdarahan pasca persalinan. Selain itu, proporsi kekurangan energi kronik pada ibu hamil berkisar 17,3%.
Tingginya prevalensi anemia dan kekurangan gizi pada ibu hamil akan berkontribusi pada kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah. Bayi-bayi ini kemungkinan tidak mampu mengejar pertumbuhannya, dan menjadi penyumbang terbesar (32,5%) untuk terjadinya stunting.
Selain itu, bayi-bayi ini lebih berisiko meninggal, mudah terjangkit penyakit infeksi, mengalami hambatan kognitif, dan akan mengalami diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung di kemudian hari. Hambatan kognitif akan berdampak pada tingkat kecerdasan yang rendah sampai gangguan kesehatan mental.
Dengan demikian, untuk mempersiapkan generasi berkualitas, calon pasangan harus memahami pentingnya 1000 hari pertama kehidupan.
Kajian mendalam tentang praktik-praktik terbaik edukasi pranikah yang telah dilaksanakan di beberapa negara di atas patut dipertimbangkan dengan tetap mengakomodasi solusi untuk masalah spesifik dan lokal di Indonesia.
Negeri ini diperkirakan akan mendapatkan bonus demografi pada 2030-2045. Pada saat itu diperkirakan jumlah penduduk usia produktif akan lebih dominan dibanding anak-anak dan orang tua.
Bisa dibayangkan bila kualitas usia produktif tersebut sepertiganya diisi oleh SDM dengan kualitas kesehatan dan kecerdasan yang rendah. Maka harapan mencapai masa keemasan Indonesia pada era tersebut akan pupus.
Maisuri Tadjuddin Chalid
Lecturer and researcher, Faculty of Medicine, Universitas Hasanuddin
Artikel ini tayang di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Kebijakan sertifikasi layak nikah: pentingnya intervensi kesehatan dari hulu". Isi di luar tanggung jawab Kompas.com.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.