Oleh Maisuri Tadjuddin Chalid
Rencana pemerintah mewajibkan calon pengantin mulai tahun depan punya “sertifikat layak nikah” menuai pro-kontra sejak pertama kali dicetuskan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy November lalu.
Sebagian pihak menganggap persyaratan kursus pranikah selama tiga bulan yang harus dilalui setiap pasangan hanya akan mempersulit proses administratif di Kantor Urusan Agama.
Padahal, edukasi pranikah ini menjadi salah satu upaya pemerintah di bagian hulu untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan yang masih menjadi beban berat Indonesia.
Tingginya angka kematian ibu dan bayi baru lahir, stunting (balita pendek), anemia pada ibu hamil, kehamilan berisiko, dan tingginya laju pertumbuhan penduduk merupakan masalah yang muncul dari perkawinan yang tidak dipersiapkan dengan baik.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2012 menyatakan kehamilan yang tidak direncanakan terjadi pada empat dari 10 perempuan. Keadaan ini menyebabkan 40% kehamilan akan mengalami keterlambatan untuk mendapatkan intervensi kesehatan.
Diperlukan upaya-upaya di hulu untuk membekali calon ibu dan pasangannya meningkatkan kondisi kesehatan mereka.
Namun kebiasaan masyarakat kita, belum lazim dijumpai pasangan yang merencanakan kehamilan dengan inisiatif sendiri mendatangi pelayanan konseling persiapan prakehamilan. Biasanya mereka mendatangi fasilitas kesehatan setelah terjadi kehamilan, atau bahkan setelah terjadi komplikasi.
Sehingga pendekatan di hulu perlu dilakukan, yakni edukasi dan konseling sebelum pernikahan.
Sebenarnya, kursus pranikah bukan hal baru. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama sejak 2013 telah mengeluarkan Peraturan Penyelenggaraan Kursus Pranikah.
Pembekalan pada calon pengantin itu diberikan singkat: 24 jam pelajaran (JPL), yang bisa diberikan selama 3 hari atau beberapa kali pertemuan dengan jam pelajaran yang sama. Waktu pelaksanaannya fleksibel mengikuti kemauan peserta.
Materi kurikulum kursus calon pengantin masih belum menyentuh aspek kesehatan, hal ini meliputi: Undang-Undang Perkawinan, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Perlindungan Anak, perkawinan dalam Islam, fungsi ekonomi, manajemen konflik keluarga, dan psikologi perkawinan.
Calon pengantin yang telah mengikuti kursus pranikah diberi sertifikat yang menjadi syarat kelengkapan pencatatan perkawinan saat mendaftar di KUA kecamatan. Sampai saat ini dokumen sertifikat ini sifatnya tidak wajib, tapi dianjurkan. Mulai tahun depan sertifikasi itu akan diwajibkan.
Di luar Kementerian Agama, gereja-gereja Katolik di Indonesia juga telah lama menyelenggarakan kelas pranikah selama beberapa bulan sebelum pasangan diizinkan menikah.
Dalam kelas ini, diajar hal-hal praktis terkait keluarga berencana, keuangan keluarga, psikologi, dan perkembangan anak untuk pasangan. Dalam agama Hindu pun ada bimbingan pranikah.