Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diaspora Peneliti, dari Kiprah dan Tantangannya Kembali ke Indonesia

Kompas.com - 12/12/2019, 10:04 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Diaspora peneliti dianggap sebagai generasi unggul yang dapat membantu pembangunan bangsa, berkiprah dan menjawab tantangan sains di Nusantara.

Dalam hal ini, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Laksana Tri Handoko mengatakan bahwa hal yang menjadi kendala kebanyakan diaspora peneliti terutama untuk pulang adalah persoalan dana, infrastruktur dan ekosistem riset.

Untuk dapat mengetahui apa dan bagaimana kiprah serta tantangan bagi para diaspora peniliti yang sesungguhnya, LIPI mengundang empat diaspora peneliti yang saat ini sudah kembali ke Indonesia dan berkontribusi dalam penelitian di LIPI.

Baca juga: BJ Habibie Meninggal, Para Ilmuwan Indonesia Sampaikan Rasa Kehilangan

Intan Suci Nurhati

Wanita yang satu ini merupakan peneliti arsip perubahan iklim. Setelah menjadi diaspora selama 10 tahun di Amerika Serikat dan Singapura, sejak tahun 2015, Intan kembali ke Indonesia dan menjadi peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.

Intan juga merupakan 74 Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila untuk bidang Sains dan Inovasi dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

Beberapa pengharagaan yang pernah diraihnya adalah LIPI Young Scientist Awards 2018 , German Ministry of Education and Research (BMBF)'s Green Talents Award for International Forum of High Potentials in Sustainable Development, dan John Bradshaw Research Award, Georgia Tech.

Osi Ariyanti

Osi merupakan diaspora yang sebelumnya menetap di Jepang selama kurang lebih lima tahun. Pada tahun 2018 lalu, dia kembali dan bergabung sebagai peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI.

Osi berfokus kepada Penelitian untuk mengeksplorasi alternatif fotokatalis yang terjangkau, bisa direalisasi, efisiensi, dan dapat diaktivasi dengan tenaga Surya.

Dia juga baru saja menerima penghargaan L'Oreal-Unesco for Woman in Science National Fellowship 2019.

Baca juga: Deteksi dalam Sedetik, Sensor Hidrogen Ilmuwan Indonesia Tercepat di Dunia

Ayu Savitri Nurinsiyah

Ayu menjadi peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI pada 2019. Setelah sembilan tahun, Ayu menjadi diaspora di Belanda, Prancis, Inggris, dan Jerman.

Ayu sudah menyumbang kekayaan keragaman hayati Indonesia dengan menemukan 16 spesies baru keong darat di Jawa.

Sama seperti Osi, Ayu juga menerima penghargaan L'Oreal-Unesco for Woman in Science National Fellowship 2019, untuk riset spesies keong darat Jawa yang memiliki antimikroba dari protein lendirnya.

Mohammad Hamzah Fauzi

Sejak tahun 2014, Hamzah bekerja menjadi asisten profesor di Tohoku University, Jepang. Serta direkrut melalu jalur diaspora LIPI pada tahun 2019.

Saat ini, Hamzah menjadi salah satu peneliti Pusat Penelitian Fisika LIPI.

Tantangan diaspora peneliti

Menjawab tantangan diaspora peneliti untuk dapat berkiprah dan mengabdi di negeri sendiri, Indonesia, keempat peneliti tersebut menyebutkan bahwa memang tidak semuanya mudah, tetapi juga tidak seburuk prasangka saat sebelum mereka pulang ke Indonesia.

Menurut Intan, secara sumber daya alam dan sumber daya manusia, saat ini penelitian Indonesia sudah cukup mumpuni, hanya saja beberapa infrastruktur seperti laboratorium belum terpadu.

Selain itu, publikasi yang berkualitas belum banyak. Hal itu dikatakan Intan karena pola pikir tentang jumlah masih mayoritas, serta susah dijangkau atau jarang sampai kepada masyarakat secara umum.

Baca juga: Perlu TTO agar Karya Peneliti Indonesia Bisa Segera Dirasakan oleh Masyarakat

"Kita memang mungkin belum ada publication fee,tetapi kita harus membumikan sains dan membuat ekosistem riset secara terpadu, termasuk ke masyarakat," dalam acara bertajuk Diskusi Publik "Diaspora Peneliti Indonesia: Kiprah dan Tantangan di Jakarta, Senin (9/12/2019).

Dalam kesempatan yang sama juga, Osi juga berpendapat bahwa ekosistem riset di Indonesia terutama di LIPI sudah bisa mendukung para peneliti, termasuk peneliti yang baru bergabung.

Namun, diakui Osi, bahwa tantangan utama yaitu birokrasi riset memang masih terbilang sulit, terutama persoalan dana riset. Osi berharap agar ke depannya, birokrasi riset dipermudah, karena penelitian sering terbentur dana riset.

"Dana untuk basic riset atau riset dasar itu minim sekali. Padahal, untuk pengembangan basic riset harus diberikan ekstra kemampuan. Salah satunya dari pendanaan yang cukup," ujar dia.

Selanjutnya disampaikan oleh Ayu, bahwa tantangan dari riset sains di Indonesia yaitu akses terhadap informasi saintifik, terutama untuk peminjaman koleksi museum (spesimen) yang harus dijadikan perbandingan penelitian.

Namun, menurut dia, di Pusat Penelitian Zoologi LIPI sendiri ekosistem risetnya tidak jauh berbeda dengan luar negeri.

"Adanya hubungan ligaliter dengan atasan seperti kabar burung yang beredar itu tidak benar," kata dia.

Justru, Ayu merasa selama menjalankan tugasnya dan mengajukan proposal penelitian, banyak proposal penelitian yang disetujui dan bahkan direkomendasikan.

"Juga satu lagi kemudahan, yaitu punya teknisi,. Kalau ada masalah, teknisi yang memperbaiki, kalau di Jerman harus diri sendiri," tuturnya.

Tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan oleh Ayu, Hamzah juga mengakui bahwa akses informasi terutama terkait kajian ilmiah fisika secara internasional belum dimiliki oleh peneliti fisika di Indonesia.

Hal itu karena LIPI belum berlangganan jurnal fisika internasional yang bisa dijadikan referensi dan tolak ukur penelitian.

Selain itu, tantangan peneliti fisika di Indonesia yaitu membangun kembali pusat mikroelektronika Indonesia yang dulu pernah dikembangkan oleh peneliti Samaun Samadikun.

Serta, mengumpulkan semua peneliti fisika Indonesia, baik itu diaspora maupun dari berbagai lembaga penelitian dan universitas untuk dapat membahas proyek fisika material elektronik.

"Dengan begitu riset di bidang fisika material dapat dibangun kembali," ucap dia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com