Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dyna Rochmyaningsih
Jurnalis

Jurnalis dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, menaruh minat pada isu kesehatan, kebijakan ilmu pengetahuan, dan kehutanan. SjCOOP Asia Fellow. Tulisannya telah dipublikasikan di sejumlah media internasional seperti Nature, Science, SciDev.Net, dan Science Daily

Ilmuwan Indonesia, Akankah Selamanya Menjadi Ali?

Kompas.com - 27/12/2017, 20:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorYunanto Wiji Utomo

KOMPAS.com - Tersebutlah sebuah kisah tentang seorang pemuda Melayu bernama Ali. Dia sudah lama mati namun belum lama ini sosoknya bangkit kembali.

Kebangkitannya bukan bermula dari tanah yang retak, tetapi dari sebuah tulisan yang dibuat oleh seorang ahli sejarah sains yang bernama John van Wyhe.

Baca: Remaja Melayu di Balik Ekspedisi Alfred Wallace di Asia Tenggara

Berdasarkan penelusuran John, Ali adalah sosok penting dalam ekspedisi Alfred Wallace di Kepulauan Melayu pada akhir abad ke-19.

Berawal dari seorang juru masak, Ali kemudian membantu Wallace dalam mencari dan mengawetkan spesimen-spesimen burung dan serangga.

Dibandingkan dengan asisten Wallace yang berasal dari Inggris, Ali dinilai lebih cekatan dan lebih produktif dalam mengumpulkan spesimen.

Ribuan spesimen yang disiapkan Ali ini merupakan sumber dari tercetusnya Teori Seleksi Alam, sebuah teori yang membantu Charles Darwin mengembangkan Teori Evolusi.

Namun kisah tentang Ali hilang seketika sejak kepulangan Wallace ke Inggris Raya. Buku harian Wallace merupakan sumber utama kisah Ali sehingga ketika keduanya berpisah, secara otomatis kisahnya berhenti.

Walaupun demikian, para ahli sejarah sains seperti John terus mencari tahu tentang sosok Ali, sebuah sosok penting yang masih tersembunyi dalam bayang-bayang Alfred Wallace.

Ratusan tahun berlalu dan saya baru menyadari bahwa ternyata ‘sosok Ali” masih hidup dalam kebanyakan tubuh ilmuwan Indonesia dan juga ilmuwan di negara berkembang lainnya.

Kisah Ali memberikan perspektif baru bagi saya untuk melihat kondisi sains dan teknologi di negara berkembang saat ini.

Kisah ini merupakan simbol dominasi sains oleh dunia Barat dan pengabaian dunia atas kontribusi ilmuwan di negara berkembang untuk sains itu sendiri.

Banyak ahli menyebutkan bahwa sains modern lahir dengan pendanaan dari kaum kapitalis di zaman kolonial.

Yuval Noah Harari, dalam bukunya Sapiens, menyebutkan bahwa pelayaran-pelayaran bangsa Eropa ke selatan dunia di abad 19 bukan hanya ditumpangi oleh pelaut,pendeta, dan pedagang, namun juga oleh para naturalis seperti Alfred Wallace dan Darwin.

Sedangkan Carl Sagan, dalam bukunya Cosmos, menyebutkan bahwa revolusi sains modern tidak bisa dipisahkan dari dukungan pemerintah Belanda pada abad 19 terhadap kebebasan berpikir (free-thinking).

Saat ini dunia sudah jauh meninggalkan kolonialisme. Sains modern yang tadinya dimiliki Barat sekarang seharusnya sudah menjadi perjalanan bersama (universal quest) umat manusia.

Melalui semangat kebebasan dan kesetaraan, banyak orang di Indonesia dan negara berkembang lainnya turut serta mempelajari sains sehingga akhirnya mereka menjadi pelaku dari perkembangan sains itu sendiri.

Namun sayangnya kebanyakan nasib mereka sama seperti Ali. Sumbangsih mereka untuk ilmu pengetahuan masih berada di balik bayang-bayang kolega mereka di Barat.

Berdasarkan penelitian di jurnal Health Affairs, ilmuwan Barat cenderung meremehkan hasil penelitian kolega mereka di negara berkembang.

Dalam eksperimen tersebut, sebanyak 347 ilmuwan kedokteran meninjau (review) empat buah abstrak penelitian yang berasal dari Amerika Serikat, Jerman, Ethiopia, dan Malawi.

Satu bulan kemudian, mereka meninjau empat buah abstrak yang sama tetapi mereka tidak menyadari bahwa afiliasi negara yang tertulis di abstrak tersebut sudah ditukar oleh penguji.

Hasilnya, mereka memberikan nilai yang lebih tinggi untuk abstrak yang berubah afiliasinya dari negara miskin ke negara kaya.

Jika pada kesempatan pertama mereka membaca abstrak A dari negara Malawi dan memberinya nilai 6. Maka di kesempatan kedua,mereka memberi nilai 8 pada abstrak A yang telah berubah afiliasi menjadi institusi di Jerman.

Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa tingkat penerimaan (acceptance rate) makalah ilmiah yang berasal dari negara-negara berbahasa Inggris lebih tinggi daripada makalah negara-negara yang tidak berbahasa Inggris.

Ini tentunya sebuah hal buruk bagi infrastruktur sains dunia. Para ilmuwan di negara berkembang akan sulit menyebarkan hasil penelitian mereka karena mereka sudah “tersandung” di awal.

Mungkin karena sebab inilah kebanyakan ilmuwan kita mengandalkan kolaborasi riset internasional untuk perkembangan karir mereka.

Namun kolaborasi riset ini juga tidak selamanya menguntungkan.

Halaman selanjutnya: Kendala penulis Indonesia

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau