Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meski Bikin Sakit Perut, Kenapa Orang Tetap Suka Makanan Pedas?

Kompas.com - 10/12/2019, 18:33 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor

KOMPAS.com - Jutaan  bahkan mungkin miliaran orang di seluruh dunia, secara rutin menyantap makanan super pedas yang bisa menimbulkan sensasi terbakar di lidah dan tak jarang membuat perut sakit.

Meski sudah tahu menyantap makanan pedas bakan "menyiksa", kenapa hal ini masih dilakukan?

Hubungan manusia dengan cabai sudah berlangsung selama ribuan tahun dan tren tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Jumlah produksi global cabai malah meningkat dari 27 juta ton ke 37 juta ton sepanjang tahun 2007 hingga 2018.

Baca juga: Kenapa Makan Makanan Pedas Bikin Cegukan?

Insting evolusi

Laporan analisis pasar dari perusahaan IndexBox menunjukkan, rata-rata setiap orang makan hampir lima kilogram cabai sepanjang tahun lalu.

Jika rata-rata berat satu cabai adalah 20 gram, maka kira-kira setiap orang mengonsumsi 250 cabai sepanjang tahun.

Di Turki, orang-orang makan cabai sampai rata-rata 86,5 gram sehari. Turki adalah negara tertinggi di dunia yang gemar mengonsumsi cabai, diikuti Meksiko (rata-rata 50,95 gram sehari).

Jadi mengapa kita menyukai makanan pedas?

Penjelasannya cukup rumit dan melibatkan penelusuran psikologis seputar kecenderungan manusia mengejar tantangan dan insting evolusi.

Rahasia alam

Bahkan proses evolusi yang memungkinkan cabai menghasilkan capsaicin (komponen yang menimbulkan rasa pedas) masih diperdebatkan.

Para ilmuwan menyadari bahwa tanaman cabai menjadi semakin kuat dan mereka memproduksi rasa pedas untuk mengusir mamalia dan serangga.

Tapi burung-burung tidak punya masalah dengan rasa pedas.

Peneliti dari Universitas Arizona, AS, menemukan mengapa mekanisme ini efektif bagi tanaman cabai.

Sistem pencernaan mamalia akan menghancurkan biji-biji cabai dan mencegah biji tersebut menjadi benih dan berkembang.

Berbeda dengan burung, biji-biji cabai lewat begitu saja dan akan keluar bersama kotoran mereka, untuk kemudian tumbuh menjadi tanaman baru.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau