KOMPAS.com – Pagi tadi, Selasa (3/12/2019), terjadi ledakan di Monumen Nasional (Monas) yang disebabkan oleh granat asap.
Granat asap merupakan granat berbentuk kaleng yang digunakan sebagai alat isyarat darat atau darat ke udara.
Peneliti bidang kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Joddy Arya Laksmono M.T. mengatakan granat asap pada dasarnya berfungsi sebagai penanda dan digunakan oleh militer.
“Sebetulnya fungsinya adalah sebagai alat penanda untuk zona sasaran atau pendaratan,” tuturnya kepada Kompas.com, Selasa (3/12/2019).
Baca juga: Apa Itu Granat Asap, Penyebab Ledakan di Monas?
Granat asap, lanjut Joddy, terbagi menjadi dua jenis yaitu granat asap berwarna dan granat asap penyembunyi. Masing-masing memiliki kandungan zat kimia yang berbeda. Dampaknya pun berbeda terhadap kesehatan orang yang terpapar zat tersebut.
Jenis pertama adalah granat asap berwarna. Menurut Jody, granat asap ini diisi sekitar 200-300 gram campuran asap pewarna.
“Terdiri dari potasium nitrat, laktosa, dan pewarna baik organik maupun anorganik,” tambahnya.
Granat asap seperti ini menurut Joddy cenderung tidak berbahaya.
“Baik ketika terhirup maupun terpapar kulit, cenderung tidak berbahaya,” tambahnya.
Jenis kedua adalah granat asap penyembunyi. Joddy mengatakan, bahan kimia utama yang ada dalam granat ini adalah hexachloroethane-zinc (HC), atau campuran dari asam terephthalic (TA).
“HC ini sebetulnya senyawa yang memiliki risiko. Kalau terserap kulit dalam konsentrasi yang tinggi, efek utamanya korban akan merasa depresi,” papar Joddy.
Selain itu, granat asap penyembunyi juga memiliki sifat mengeluarkan panas.
“Istilahnya memiliki reaksi eksotermis. Jadi jika terpapar, selama beberapa saat badan masih merasa panas meskipun sudah tidak ada lagi asapnya,” tambah ia.
Meski begitu, baik HC maupun sifat panas yang dihasilkan granat asap penyembunyi tidak akan berpengaruh terhadap tubuh jika terhirup.
“Cara kerjanya di bawah lapisan kulit, jadi hanya berbahaya jika terpapar kulit apalagi dalam dosis yang tinggi,” tutur Joddy.