Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Temuan Telur Tercemar Dioksin, Kita Tak Perlu Lebay Menanggapinya

Kompas.com - 02/12/2019, 11:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Riset IPEN dilakukan dalam sampel yang terbatas sehingga studi tersebut tidak dapat “digebyah-uyah” bahwa semua telur di Jawa Timur mengandung dioksin.

Pengambilan sampel telur hanya dilakukan di lokasi tempat industri pembuatan tahu di Desa Tropodo yang menggunakan sampah plastik impor sebagai bahan bakar. Bisa saja, budidaya ternak ayam di daerah tersebut memang buruk sehingga telur ayam dapat dengan mudah terkontaminasi dioksin.

Siapa yang harus bertanggung jawab?

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah membuat regulasi yang tepat dengan melarang impor sampah, seperti amanat Undang-Undang No. 18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. Tapi meningkatnya tren sampah impor di Indonesia itu menunjukkan lemahnya penegakan aturan tersebut oleh pemerintah yang seharusnya dilarang.

Selain itu, Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga mengamanatkan pengurangan sampah sebesar 30% pada 2025 atau lebih dari 20 juta ton sampah.

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan berbagai negara di Eropa sudah lama menyadari tentang bahaya dioksin yang termasuk golongan Persistent Organic Pollutants (POPs) atau senyawa organik yang mempunyai sifat beracun bagi makhluk hidup dan dapat bertahan lama di lingkungan (persistent) sehingga berdampak buruk pada kesehatan manusia dan lingkungan.

Kepedulian mereka ditandai dengan penyelenggaraan kesepakatan pada Konvensi POPs di Stockholm pada Mei 2001. Indonesia juga turut ambil bagian pada konvensi tersebut, yang bertujuan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari POPs.

Selain itu, salah satu poin kesepakatan yang dihasilkan adalah ketentuan untuk menurunkan emisi dioksin.

Terkait dengan POPs, sebenarnya Indonesia telah mempunyai Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 tentang pengelolaan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3), yang memuat daftar limbah B3 yang boleh digunakan dan limbah B3 yang dilarang digunakan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan pemerintah daerah seharusnya dapat bersatu untuk mengatasi masalah ini.

Penjaminan perlindungan keamanan pangan di setiap rantai pangan menjadi isu yang penting sekaligus meresahkan masyarakat jika tidak ditangani dengan serius.

Keamanan pangan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan cemaran oleh agen biologis, kimia, dan cemaran lain yang dapat membahayakan kesehatan manusia.

Kita berharap produsen tahu Desa Tropodo tidak lagi menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar dan pemerintah menegakkan regulasi pengelolaan sampah plastik dan larangan impor sampah.

Dari sampah plastik ke manusia

Pada 2018, lima besar pengekspor sampah plastik ke Indonesia adalah Australia, Jerman, Kepulauan Marshall, Belanda, dan Amerika Serikat. Pada tahun yang sama, UN Comtrade menyebutkan volume sampah plastik yang diimpor oleh Indonesia meningkat dua kali lipat menjadi 320.000 ton dibandingkan pada 2017.

Menurut laporan IPEN, ada sekitar 50 industri pembuatan tahu di Desa Tropodo yang membakar sampah plastik sebagai bahan bakar.

Di desa sekitarnya, sampah plastik ditimbun setiap hari dan pembakaran terbuka dilakukan untuk mengurangi volume sampah plastik. Sampah plastik ini merupakan sisa dari pabrik kertas yang mengimpor sampah dari berbagai negara maju untuk produksi kertasnya.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com