KOMPAS.com - Wanita yang mengalami kontraksi otot sekitar vagina (vaginismus) dapat terjadi tanpa disadari, juga tidak dapat dikendalikan.
Siapa saja yang berisiko mengalami vaginismus?
Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi di Bamed Women's Clinic, dr Ni Komang Yeni SpOG, mengatakan vaginismus bisa menyerang perempuan dengan variasi usia.
"Mulai dari usia ketika seorang perempuan sudah aktif secara seksual, sampai perempuan yang sudah berusia lanjut atau tua, bisa saja mengalami vaginismus atau kontraksi otot di sekitar vagina," kata dr Yeni dalam sebuah acara bertajuk Vaginismus dan Difungsi Seksual Perempuan, Jakarta, Rabu (27/11/2019).
Baca juga: Penyebab dan Gejala Vaginismus, Kontraksi Abnormal pada Otot Vagina
Namun beberapa perempuan justru mengalami vaginismus pada masa menopause. Saat kadar estrogen turun, pelumasan dan elastisitas vagina pun relatif menurun. Kondisi ini membuat hubungan intim merasa menyakitkan, atau terkadang sulit untuk direalisasikan. Hal tersebut bisa berujung pada vaginismus.
Berikut beberapa faktor risiko terjadinya vaginismus yang perlu Anda ketahui.
- Adanya riwayat kekerasan seksual atau trauma
- Prosedur medis yang menakutkan saat masa kecil
- Hubungan seksual pertama yang menyakitkan
- Masalah pada hubungan dengan pasangan
- Halangan seksual
- Takut hamil
- Trauma rasa sakit sebelumnya akibat infeksi
- Operasi
- Kondisi ginekologis lainnya.
"Sebenarnya ada banyak sekali jenis vaginismus. Tapi secara umum ada vaginismus primer dan sekunder," ujar dr Yeni.
1. Vaginismus primer
Dikatakan sebagai vaginismus primer apabila seorang perempuan sama sekali tidak pernah bisa memiliki hubungan seksual akibat rasa sakit dan kesulitan penetrasi.
2. Vaginismus sekunder
Dikatakan sebagai vaginismus sekunder apabila seorang perempuan sebelumnya pernah menikmati seks tanpa masalah, namun kemudian mengalami vaginismus akibat trauma atau masalah medis yang memengaruhi kondisi vagina.
"Klasifikasi jenis vaginismus ini juga akan memberi perbedaan kecil yang menentukan cara pengobatan atau terapi untuk vaginismus yang diderita," kata dr Yeni.
Terapi untuk penderita vaginismus seharusnya merupakan kolaborasi antara psikiater dan ginekolog. Kombinasi terapi edukasi adalah terapi dengan dilator vagina dan pelvic physical therapy untuk meningkatkan keberhasilan terapi.
"Tapi ada juga yang hanya butuh diajak bicara, dikasih pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya vaginismus itu, kemudian berkomunikasi dengan pasangan tanpa terapi lainnya juga bisa teratasi atau sembuh sendiri," ucap dr Yeni.
Baca juga: Halo Prof! Vaginismus Itu Penyakit Sungguhan atau Bukan?
Hal yang disayangkan, kata dr Yeni, masih banyak yang merasa malu untuk mengatakan atau berkonsultasi ketika mengalami gejala vaginismus atau disfungsi seksual.
Padahal hal tersebut mengganggu hubungan intim bersama pasangan, serta tidak sedikit yang berujung pada perselingkuhan ataupun perceraian.
"Masalah ini (vaginismus dan disfungsi seksual) jarang diungkapkan, lambat didiagnosis dengan baik, dan akhirnya tatalaksana tidak dapat dilaksanakan dengan optimal, padahal ini (vaginismus dan disfungsi seksual) bisa disembuhkan," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.