"Kedua, kalau itu dijadikan warning tidak masalah. Tapi dalam implementasinya, untuk perencanaan detail tata ruang, itu harus digunakan peta yang jauh lebih detail. Setidaknya 1:10.000 atau 1:5.000. Jadi satu sentimeter di peta mewakili 100 meter di kondisi realnya," imbuhnya.
Dengan pengukuran yang lebih mendetail, Eko berkata, hal ini agar dapat benar-benar mengidentifikasi satu tempat dengan tempat lainnya.
Eko melanjutkan, ketika ada pemberitaan tentang potensi likuefaksi di Jakarta, masyarakat kemungkinan besar akan mengingat bencana di Palu.
"Padahal yang lebih umum, likuefaksi tidak seperti itu. Jadi yang lebih umum, likuefaksi hanya mengakibatkan amblesnya bangunan dalam hitungan puluhan sentimeter. Jadi katakanlah, (permukaan tanah turun) 10 cm, 20 cm, sampai 50 cm," jelasnya.
Namun, pada bangunan dengan konstruksi tidak baik, maka amblesnya tanah sedalam puluhan sentimeter akan berakibat buruk terhadap bangunan itu," katanya.
Oleh sebab itu, Eko dan Adrin menegaskan, perlu ada penelitian lebih lanjut terkait potensi likuefaksi di suatu daerah.
Eko menegaskan, prediksi potensi likuiefaksi untuk dijadikan warning atau peringatan tidak ada masalah.
"Namun agar tidak ada paranoid di masyarakat, informasi itu didetailkan. Itu yang harus dilakukan," katanya.
Baca juga: Petaka di Petobo adalah Likuefaksi Paling Dahsyat, Ini Alasannya
Sebagai ahli tsunami purba, Eko juga mengatakan bahwa di masa lalu memang ada gempa besar di Jakarta. Salah satu yang tercatat adalah gempa di tahun 1699 yang mengakibatkan sekitar 28 gudang beras roboh dan korban dari peristiwa ini juga cukup banyak.
Meski ada catatan gempa, tapi hingga saat ini belum ada catatan apakah gempa tersebut kemudian memicu likuefaksi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.