Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jakarta Disebut Rentan Likuefaksi, Begini Tanggapan Pakar LIPI

Kompas.com - 22/11/2019, 13:57 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Kepala Sub-Bidang Evaluasi Geologi Teknik Kementerian ESDM mengungkap, Jakarta terindikasi rentan terkena likuefaksi.

Hal ini berdasar data peta 100:1.000 yang dimiliki kementerian ESDM.

"Berdasarkan data kami, peta 100:1.000, Jakarta memiliki kerentanan terjadinya likuefaksi, tapi ini masih menggunakan data regional, belum lokal. Jadi potensi secara detailnya belum bisa kami pastikan," ujar Ginda Hasibuan, Kepala Sub-Bidang Evaluasi Geologi Teknik Kementerian ESDM di Jakarta, Kamis (21/11/2019).

Likuefaksi merupakan fenomena meluluhnya massa tanah akibat guncangan gempa yang menyebabkan tanah kehilangan kekuatannya.

Baca juga: Jakarta Terindikasi Rentan Terkena Likuifaksi

Menanggapi hal ini, Kompas.com meminta tanggapan pakar likuefaksi LIPI Adrin Tohari dan Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto.

Pertama, Adrin melihat analisis tersebut berdasar skala peta regional 100:1.000 atau 1:100.000. Menurutnya, ini analisis sangat kasar dan tidak mendetail.

Kedua, data yang digunakan hanya data geologi saja, dengan mempertimbangkan adanya aspek ancaman gempa di Jakarta.

"Jadi potensinya ini dilihat hanya dari satu atau dua parameter. Yaitu parameter geologi yang berupa endapan delta dengan asumsi ada lapisan pasir di situ, (parameter) kedua aspek kegempaan," kata Adrin dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (22/11/2019).

Adrin mengatakan, potensi likuefaksi mungkin saja ada. Namun yang harus digarisbawahi, jenis likuefaksi mana yang akan terjadi.

Jika kita mendengar kata likuefaksi, mungkin kita akan langsung membayangkan bencana seperti yang terjadi di Petobo, Palu, September 2018 lalu.

Padahal, ada beberapa jenis likuefaksi.

Bencana yang terjadi di Palu adalah jenis likuefaksi aliran. Selain itu, ada juga likuefaksi yang menyebabkan semburan pasir keluar dari rekahan tanah, yang menyebabkan longsoran material pada daerah-daerah bibir sungai, atau penurunan muka tanah secara lokal.

"Nah jadi harus dilihat lagi aspek teknisnya lebih detail, likuefaksi seperti apa yang akan muncul," ungkapnya.

Sependapat dengan Adrin, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto mengatakan, data 100:1.000 atau 1:100.000 menandakan satu sentimeter di peta mewakili satu kilometer di lapangan. Ini artinya, skala data tersebut masih sangat kasar.

"Namun yang lebih penting dari itu adalah, apakah peta itu dibuat berdasarkan data yang memang diambil di lapangan secara akurat, itu pertanyaannya," kata Eko dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Jumat (22/11/2019).

"Kedua, kalau itu dijadikan warning tidak masalah. Tapi dalam implementasinya, untuk perencanaan detail tata ruang, itu harus digunakan peta yang jauh lebih detail. Setidaknya 1:10.000 atau 1:5.000. Jadi satu sentimeter di peta mewakili 100 meter di kondisi realnya," imbuhnya.

Dengan pengukuran yang lebih mendetail, Eko berkata, hal ini agar dapat benar-benar mengidentifikasi satu tempat dengan tempat lainnya.

Agar tak meresahkan, perlu data detail

Eko melanjutkan, ketika ada pemberitaan tentang potensi likuefaksi di Jakarta, masyarakat kemungkinan besar akan mengingat bencana di Palu.

"Padahal yang lebih umum, likuefaksi tidak seperti itu. Jadi yang lebih umum, likuefaksi hanya mengakibatkan amblesnya bangunan dalam hitungan puluhan sentimeter. Jadi katakanlah, (permukaan tanah turun) 10 cm, 20 cm, sampai 50 cm," jelasnya.

Namun, pada bangunan dengan konstruksi tidak baik, maka amblesnya tanah sedalam puluhan sentimeter akan berakibat buruk terhadap bangunan itu," katanya.

Oleh sebab itu, Eko dan Adrin menegaskan, perlu ada penelitian lebih lanjut terkait potensi likuefaksi di suatu daerah.

Eko menegaskan, prediksi potensi likuiefaksi untuk dijadikan warning atau peringatan tidak ada masalah.

"Namun agar tidak ada paranoid di masyarakat, informasi itu didetailkan. Itu yang harus dilakukan," katanya.

Baca juga: Petaka di Petobo adalah Likuefaksi Paling Dahsyat, Ini Alasannya

Catatan sejarah

Sebagai ahli tsunami purba, Eko juga mengatakan bahwa di masa lalu memang ada gempa besar di Jakarta. Salah satu yang tercatat adalah gempa di tahun 1699 yang mengakibatkan sekitar 28 gudang beras roboh dan korban dari peristiwa ini juga cukup banyak.

Meski ada catatan gempa, tapi hingga saat ini belum ada catatan apakah gempa tersebut kemudian memicu likuefaksi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com