Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kristal Es Bak Salju Muncul di Gunung Gede, Begini Cara Terbentuknya

Kompas.com - 08/10/2019, 12:32 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Fenomena embun yang berubah menjadi kristal es (frost) muncul di Alun-alun Surya Kencana, Gunung Gede, Jawa Barat, Minggu (6/10/2019) pagi.

Menurut pemberitaan Kompas.com Senin (7/10/2019), salah satu pemandu gunung dari Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI) Ade Wahyudi berkata bahwa fenomena kristal es yang terjadi kemarin tak seperti biasa. Ini karena cakupan volumenya lebih luas.

Menurut Ade, kristal es yang menyelimuti gunung dengan ketinggian 2.958 mdpl itu tampak seperti padang es berserakan.

Namun, fenomena apakah ini?

Baca juga: Fenomena Kristal Es seperti Salju Kembali Muncul di Gunung Gede

Dalam pemberitaan Kompas.com Senin (7/10/2019), Kedeputian Klimatologi BMKG Indra Gustari mengatakan fenomena kristal es yang terjadi di Gunung Gede mirip dengan yang pernah terjadi di Dieng beberapa bulan lalu.

"Kalau dari cirinya, dari laporan masyarakat atau para pendaki, sama-sama terbentuk seperti salju. Hipotesa kita mirip yang terjadi di Dieng," ujar Indra.

Fenomena alami

Sementara itu, Kabid Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Hary Djatmiko menjelaskan, fenomena embun beku atau disebut frost merupakan fenomena alami yang biasa terjadi.

"Fenomena embun beku (frost) dan suhu dingin malam hari terutama di lereng dataran tinggi atau pegunungan lebih disebabkan kondisi meteorologis dan musim kemarau yang saat ini tengah berlangsung," ujar Hary kepada Kompas.com, Selasa (8/10/2019).

Hary menjelaskan, pada bulan ini langit cenderung tidak berawan. Hal inilah yang memicu suhu permukaan bumi menjadi dingin pada malam hari.

Ketika langit tidak berawan, radiasi balik dari bumi pada malam hari melalui radiasi gelombang panjang tidak ada yang dipantulkan awan.

Kata Hary, radiasi gelombang panjang tersebut akan bablas ke luar angkasa dan membuat suhu tengah malam hingga pagi hari menjadi lebih dingin dari biasanya.

Untuk daerah-daerah tanpa tutupan vegetasi atau tanpa tetumbuhan, Hary mengatakan dalam situasi seperti saat ini akan menjadi lebih dingin dibanding wilayah yang ada di dataran rendah.

"Jika suatu wilayah di ketinggian 1.000 mdpl sampai 2.000 mdpl kondisi langitnya clear dalam 24 jam, maka berpotensi muncul frost atau embun beku," jelas Hary.

Proses embun beku (frost)

Bumi hampir 50 persen mengembalikan radiasi yang diterima melalui gelombang pendek pada siang hari dan mengembalikan pada malam hari dengan radiasi gelombang panjang.

Hary menjelaskan, pada musim kemarau permukaan bumi lebih kering. Kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara pun sangat sedikit jumlahnya yang dibuktikan dengan rendahnya kelembaban udara.

Hamparan padang es di gunung gede merupakan fenomena langka karena lebih luas, Minggu (6/10/2019)APGI / Ade Wahyudi Hamparan padang es di gunung gede merupakan fenomena langka karena lebih luas, Minggu (6/10/2019)

"Pada kondisi demikian, panas matahari akan lebih banyak terbuang dan hilang ke angkasa. Itu yang menyebabkan suhu udara musim kemarau lebih dingin daripada suhu udara musim hujan," jelasnya.

"Pada kondisi musim kemarau seperti saat ini, beberapa tempat di Jawa yang berada di daerah pegunungan, akan berpeluang untuk mengalami kondisi udara permukaan kurang dari titik beku 0 derajat Celsius. Ini disebabkan molekul udara di daerah pegunungan lebih renggang dari pada dataran rendah sehingga sangat cepat mengalami pendinginan, lebih lebih pada saat cuaca cerah tidak tertutup awan atau hujan," imbuhnya.

Kemudian, pada malam hari uap air di udara akan mengalami kondensasi dan mengembun, hingga akhirnya embun jatuh ke tanah, dedaunan atau rumput.

Air embun yang menempel dipucuk daun atau rumput akan segera membeku karena suhu udara yang sangat dingin ketika mencapai minus atau nol derajat.

Embun es menutup permukaan tanah dan lahan pertanian di dataran tinggi. Fenomena dinginnya cuaca saat ini adalah normal saat kemarau.

Cuaca cerah siang hari menyebabkan potensi terjadinya hujan menjadi minim. Angin dominan dari Australia bersifat kering.

Suhu dingin terutama di malam hari disebabkan masih berlangsungnya musim kemarau.

Pada musim kemarau, tutupan awan jauh lebih sedikit sehingga di malam hari tidak ada gelombang panas dari permukaan bumi yang kembali dipantulkan.

Kondisi Kandungan air di udara pun sangat sedikit jumlahnya yg diikuti rendahnya kelembaban udara.

Baca juga: BMKG Sebut Suhu Dieng Terdingin se-Indonesia, Benarkah Capai 11 Derajat Celsius?

Prediksi musim kemarau sampai pertengahan Oktober 2019

Diprakirakan musim kemarau 2019 akan berakhir pada pertengahan Oktober.

Prediksi ini berdasarkan kondisi di Benua Australia yang masih mengalami musim dingin, ditandai adanya pola-pola tekanan tinggi di daerah tersebut yang menyebabkan pergerakan angin dan massa udara berhembus menuju Asia diiringi sifat udaranya lebih dingin dan umumnya kering.

Hal inilah yang menyebabkan suhu udara musim kemarau lebih dingin daripada suhu udara musim hujan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau