KOMPAS.com - Gunung Everest yang berada di Himalaya, Nepal, diklaim sebagai gunung tertinggi di dunia. Untuk mencapai puncaknya, Anda harus mendaki hingga ketinggian 8.848 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Meski diselimuti salju dan dingin, tak sedikit orang bermimpi untuk menggapai puncak Everest.
Namun sebelum sampai ke puncak tertinggi dunia, para pendaki harus menaiki tanjakan terakhir yang berada di ketinggian lebih dari 8.000 mdpl. Area terakhir ini dikenal dengan sebutan the death zone atau zona kematian.
"Zona kematian" bukan sembarang nama. Pasalnya, di ketinggian itu, kadar oksigen sangat tipis. Orang berisiko tinggi kehabisan napas dan meninggal jika terlalu lama di sana.
Antusiasme pendaki selama Mei 2019 membuat risiko itu bertambah buruk. Antrean pendaki mengular di dead zone. Tercatat, sebanyak 11 pendaki Everest meninggal kehabisan napas di sana.
Laporan BBC pada Oktober 2015 menyebutkan, setidaknya lebih dari 200 jenazah manusia telah ditemukan di dekat puncak Everest.
Namun, kenapa terjebak antrean di Everest bisa menyebabkan kematian?
Dilansir Science Alert (29/5/2019), tubuh manusia tidak bisa "berfungsi" dengan baik jika berada di ketinggian tertentu. Tempat paling ideal bagi manusia adalah di atas permukaan laut karena otak dan paru-paru kita cukup mendapat oksigen.
Sebaliknya, ketika pendaki terjebak di jalur zona kematian yang ada ribuan meter di atas permukaan air laut, otak dan paru-paru tidak mendapatkan cukup asupan oksigen.
Baca juga: Gletser Everest Mencair, Sejumlah Mayat Muncul ke Permukaan
Situasi seperti ini dapat mengakibatkan risiko serangan jantung dan stroke, serta menurunkan konsentrasi.
Seorang pendaki bernama David Breashers membenarkan hal ini. Menurut dia, pendaki Everest akan mengalami kesulitan bernapas begitu sampai di zona kematian.
Tak usah jauh-jauh ke puncak Everest. Bayangkan saja jika Anda berada di puncak gunung dengan ketinggian di atas 3.000 meter, pasti juga akan sulit bernapas karena udara tipis.
Sebuah riset mengatakan, saat berada di ketinggian sekitar 3.657 mdpl, kadar oksigen berkurang 40 persen. Coba bayangkan bagaimana kondisi udara di ketinggian 8.000 mdpl seperti puncak Everest.
Dalam ekspedisi Caudweel Xtreme di Everest tahun 2007, dokter Jeremy Windsor mengambil sampel darah dari empat pendaki yang sedang mengantre di zona kematian. Dia menemukan, cara bernapas mereka sama seperti orang sekarat.
Kekurangan oksigen memicu berbagai masalah kesehatan. Ketika jumlah oksigen dalam darah anjlok, detak jantuk akan melonjak sampai 140 detak per menit. Kondisi ini akan meningkatkan risiko serangan jantung.