Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BRG Paparkan 4 Persoalan Lahan Gambut yang Harus Dituntaskan

Kompas.com - 02/10/2019, 10:33 WIB
Ellyvon Pranita,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang dimulai sejak Agustus, masih berlangsung hingga hari ini. Selain penangan pasca terjadi kebakaran, ada banyak persoalan lahan gambut yang harus diselesaikan secara tuntas.

Hal ini disampaikan oleh badan khusus terkait restorasi gambut di Indonesia, Deputi Bidang Konstruksi, Operasi dan Pemeliharaan, Badan Restorasi Gambut (BRG), Dr Alue Dolohong.

3 Aspek yang harus diperhatikan terkait restorasi gambut

1. Mengurangi pengangkatan hidrogen

Alue mengatakan, hal pertama yang harus mendapat perhatian adalah solusi untuk mengurangi pengangkatan hidrogen penetrasi di lahan gambut. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan prosedur berbasis teknologi.

"Kita sudah tahu dan baca, air itu gimana di lahan gambut. Apalagi kalo masalah ketika ada api begitu, jalannya itu kita bisa mengatur dan menjaga airnya untuk menjaga ekosistem lahan gambut," kata Alue di Jakarta, Selasa (1/10/2019).

Baca juga: BMKG Sebut Iklim di Sumatera dan Kalimantan Pengaruhi Karhutla

Hal yang dimaksudkan oleh Alue, yaitu lahan gambut pada dasarnya 90 persen mengandung air. Oleh karena itu, semua pihak harus dapat menjaga lahan gambut agar kandungan airnya tetap terpenuhi. Ini adalah sebuah prrioritas.

Terlebih lagi, perlakuan terhadap lahan gambut pada saat kekeringan di musim kemarau dan juga banjir di musim hujan.

2. Pemulihan lahan gambut

Selain prioritas kandungan air pada lahan gambut, Alue juga menyoroti restorasi lahan gambut di berbagai daerah.

"Pemulihan habitatnya (lahan gambut) harus dengan pendekatan teknologi yang sesuai di daerah, agar efektif dan efisien," ujarnya.

Pasalnya, dampak berbagai persoalan yang terjadi di alam termasuk perubahan iklim juga membuat karakteristik lahan gambut akan mengalami perbedaan.

Oleh karena itu, Alue mengatakan perlakuan terhadap lahan gambut di berbagai daerah tidak bisa disamakan.

Selain gambut secara alami terbagi atas beberapa jenis lahan (rawa pasang surut, rawa lebak, dan rawa lebak peralihan), ada banyak faktor lain yang berpengaruh terhadap perbedaan karakteristik lahan gambut.

3. Budidaya dan fasilitas pengembangan hasil lahan gambut

Hal ketiga yang harus diperhatikan menurut Alue adalah mendorong budidaya dan memfasilitasi kreativitas pengembangan dari hasil alam alami lahan gambut.

"Misal, daerah lahan gambut ada yang sudah sesuai masuk kawasan budidaya termasuk konservasi, ini yang dijaga sesuai perlakuan alam konservasi," ucap Alue.

Selain itu, juga terdapat beberapa daerah yang memanfaatkan hasil alam atau menggunakan lahan gambut sesuai porsi, seperti menanam padi dan sagu yang cocok di lahan gambut.

"Nah yang begini harusnya didorong untuk tetap mempertahankan itu, juga difasilitasi ya penjualannya atau marketnya dibantu pemerintah. Jadi mereka tidak cuma menghasilkan dan menjaga lahan saja, tapi ada penghasilan dan target pasarnya untuk kemakmuran mereka (petani di lahan gambut)," tuturnya.

Termasuk juga masyarakat yang membuat kerajinan dari purun yang tumbuh di lahan gambut, seharusnya diberikan wadah atau dicarikan pasar penjualan karya mereka, kata Alue.

Bahkan, dijelaskan Alue bahwa ada pemanfaatan energi biomassa yang dihasilkan oleh alam lahan gambut, yang seharusnya ini dilirik oleh pemerintah untuk dijadikan alternatif pemanfaatan lahan gambut tanpa perusakan lahan itu.

4. Perubahan regulasi

Keempat, perlu adanya perubahan regulasi yaitu penekanan terhadap perilaku manusia dan penegakan hukum yang tegas.

"Ini yang perlu direstorasi otak manusianya, bukan hanya restorasi fisik (lahan gambut)," katanya.

Karena meskipun restorasi gambut terus digalakkan, namun regulasi terhadap perilaku manusia atau oknum yang terus-menerus tidak sadar akan manfaat dan dampak fatal dari rusaknya lahan gambut tersebut masih akan terus berlanjut kerusakan alam di lahan gambut.

Menurut Alue, kebakaran hutan dan lahan gambut (karhutla) terus terjadi di Indonesia itu disebabkan karena regulasi terhadap perilaku manusia yang membakar dengan sanksi yang dianggap banyak pihak merupakan sanksi ringan.

"Termasuk juga regulasi pemanfaatan lahan, misal penanaman dilahan gambut tidak boleh dengan kedalam tiga meter dan lainnya, karena itu kalau dibiarkan yang menggangu ekosistem tetap," ujarnya.

Contohnya, orang Dayak memanfaatkan lahan gambut dengan menanam tanaman di kedalaman tidak sampai satu meter. Ini artinya, orang Dayak tahu jika menanam tanaman lebih dalam lagi maka unsur zat beracun di lahan gambut akan keluar.

Baca juga: Ketika Pengelolaan Gambut Indonesia Jadi Rujukan Internasional

Saat ini Alue berharap agar semua kalangan mendorong pemberian edukasi kepada masyarakat agar sadar betapa pentingnya menjaga eksistensi lahan gambut ini.

"Indonesia satu satunya negara yang punya badan khusus restorasi gambut. Enggak ada di manapun di dunia. Tapi harusnya ada kewenangan juga biar bisa melarang atau memberikan peringatan kepada mereka yang akan berpotensi merusak lahan gambut, saat ini hanya perihal izin yang kategorinya sudah ditetapkan pemerintah," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com