Secara sederhana, dapat digambarkan bahwa para pelaku aksi akan siap menjadi tameng satu sama lain.
Dalam konteks yang lebih ekstrem, ketika ikatan keluarga ini terbangun, dan ancaman yang riil terhadap kelompok muncul, maka dorongan untuk melakukan serangan balasan terhadap ancaman akan muncul.
Hal inilah yang mengarahkan sebuah aksi protes yang mulanya berlangsung damai, justru menjadi konflik keras sebagai akibat pendekatan represif yang dilakukan otoritas.
Tidak hanya di Indonesia, hal yang sama juga ditemukan dalam berbagai aksi protes di Mesir, Hong Kong, Turki, dan Ukraina.
Pertanyaannya kemudian, apakah pendekatan represif ini akan menurunkan tensi para aktivis dalam memobilisasi aksi protesnya? Alih-alih dapat bekerja secara efektif untuk menghentikan rangkaian aksi demonstrasi, pendekatan represif justru akan mendorong aksi-aksi kolektif tersebut semakin berkelanjutan.
Pola ini dapat disaksikan langsung dalam rangkaian aksi protes yang berlangsung di Hong Kong. Seiring dengan meningkatnya pendekatan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan, solidaritas antarpeserta aksi justru semakin meningkat.
Individu-individu yang tidak saling mengenal secara pribadi, dalam rangkaian aksi yang direpresi tersebut, justru menjadi sau zuk (istilah Kanton untuk menggambarkan ikatan yang sangat kuat, secara etimologis berarti ‘tangan dan kaki’) satu sama lain.
Susilo Wibisono
PhD Candidate in Social Psychology, The University of Queensland
Artikel ini ditayangkan atas kerja sama Kompas.com dan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambilkan dari artikel berjudul "‘Mengapa tindakan kekerasan polisi tidak efektif untuk menangani aksi protes mahasiswa?".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.