KOMPAS.com – Posisi vape atau rokok elektrik di masyarakat Indonesia masih kontroversial. Demikian pula di mata para ahli, masih banyak perdebatan antara sisi positif dan negatif dari vape terutama dalam upaya berhenti merokok.
Dari sisi bahayanya, disampaikan oleh Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, dr. Agus Dwi Susanto Sp.P(K), menyatakan vape sama bahayanya dengan rokok konvensional.
“Artinya, kalau dilihat dari kandungan nikotin secara konsentrasinya, mungkin satu hirupan lebih rendah dari rokok tembakau. Kemudian dalam rokok elektrik diakui tidak ada tar," jelas Agus saat dihubungi Kompas.com via telepon pada hari Kamis (18/10/2018)
Dia melanjutkan, tapi di dalam vape terkandung bahan berbahaya, seperti nikotin dan bahan-bahan karsinogen lain seperti formaldehyde. Karsinogen dalam hal ini menjadi zat yang cukup berbahaya sebagai penyebab kanker.
Baca juga: 3 Minggu Coba Vape, Gadis AS Kena Paru-paru Basah
Di sisi lain, terdapat juga penelitian yang menganggap vape lebih baik dari rokok biasa. Hal ini disampaikan Dr. drg. Amaliya, MSc., PhD, Peneliti Fakultas Kedokteran Gigi dari Universitas Padjadjaran.
Dia menyatakan bahwa risiko bahaya yang ditimbulkan rokok elektrik 95 persen lebih rendah daripada yang ditimbulkan oleh rokok tembakau.
“Kalau kita bandingkan vape dengan rokok, ada lebih dari 400 zat beracun di dalam rokok konvensional. Sementara pada rokok elektrik, memang ada beberapa zat beracun yang ditemukan pada rokok tembakau yang dibakar, seperti formaldehyde, tapi kandungannya sedikit sekali, masih di bawah ambang batas normal,” jelas Amaliya, saat ditemui ada Rabu (17/10/2018) di Jakarta.
Dalam sebuah penelitian pada tahun 2017, Amalia mengkaji perubahan sel yang melapisi permukaan pipi bagian dalam rongga mulut tiga kelompok sampel utama, yakni kelompok perokok aktif, pengguna rokok elektrik dan non perokok.
Baca juga: Mengisap Rokok Elektrik Lebih Berbahaya dari yang Kita Pikirkan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perokok memiliki jumlah inti sel kecil (mikronukleus) dalam kategori tinggi, yakni sebanyak 147.1, sedangkan pengguna rokok elektrik dan non perokok masuk dalam kategori normal, yakni berkisar pada angka 70-80.
Menurut penelitian tersebut, banyaknya jumlah inti sel kecil merupakan tanda bahwa telah terjadi pembelahan sel yang tidak normal. Dalam kondisi normal, sel-sel yang terdapat dalam rongga mulut akan terus membelah dan memperbaiki diri. Namun, di rongga mulut perokok aktif, proses pembelahan tersebut menjadi kacau.
Vape juga sering dianggap tidak berbahaya atau memiliki konsentrasi bahaya yang lebih rendah dari rokok konvensional. Hal ini disepakati pula oleh Agus namun tidak bisa dijadikan alasan yang tepat untuk menggunakan vape.
“Memang dalam berbagai literature ini dikatakan less harmful, tetapi pernyataan tersebut menurut WHO tidak tepat. Tidak ada batasan untuk bahan-bahan yang bersifat racun. Artinya, bahan yang mengandung racun lebih sedikit pun tidak bisa dikatakan aman,” tegas Agus.
Baca juga: Temuan Baru, Vape Tingkatkan Risiko Kanker
Agus menambahkan, vape juga tidak bisa digunakan sebagai alih-alih berhenti dari kebiasaan merokok. Sebab, berdasarkan pantauannya, kebanyakan perokok yang beralih justru terus menerus menggunakan vape tersebut.
“Kalau kita bicara sebuah modalitas untuk berhenti merokok, maka modalitas tersebut harus diberikan supervisi dokter. Kemudian harus di awasi dan di nilai dalam periode tertentu apakah berhasil atau tidak. Lalu, kalau mereka berhasil berhenti merokok karena vape, mereka harus juga berhenti menggunakan vape,” jelas Agus.
Dalam penerapannya pun, vape tidak direkomendasikan sebagai terapi upaya berhenti merokok atau nicotine replacement therapy (NRT). Dalam pelaksanaan NRT, yang direkomendasikan oleh dokter adalah dengan spray, inhaler, dan tablet hisap. Itu pun dengan catatan tidak boleh dilakukan secara terus menerus.
Meski bertolak belakang, namun keduanya sepakat bahwa jalan yang terbaik adalah dengan tidak mengonsumsi keduanya. Amaliya tetap menegaskan bagi pengguna vape untuk mengurangi kadar nikotin dalam cairan vape secara bertahap. Bahkan lebih jauh lagi, ia menegaskan akan lebih baik agar para pengguna vape berhenti total.
“Kami khawatir akan kesehatan masyarakat dan apa yang menjadi fenomena di Indonesia. Dan masalahnya adalah munculnya rokok vape untuk berhenti merokok. Namun, kita harus lihat juga bahwa vape punya efek jangka panjang. Berhenti dari keduanya adalah jalan yang paling baik,” tutup Amaliya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.