KOMPAS.com - Sebuah utas dari pemilik akun @temukonco ramai di Twitter sejak Minggu (17/9/2019).
"Saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Saya persembahkan. Peta Indonesia terkini," begitu tulis Iwan Pribadi mengawali utasnya disertai peta Indonesia berwarna kecokelatan.
Dalam peta yang dilampirkan @temukonco dan telah diretweet lebih dari 24 ribu kali, tampak wilayah Kalimantan, khususnya Kuala Kurun, Pontianak, dan Palangkaraya berwarna merah kehitaman. Sementara di Sumatera, ada Kota Jambi berwarna merah.
"Sekadar informasi, semakin merah warnanya, menunjukkan semakin tinggi kandungan di lokasi tersebut," tulis akun tersebut.
Baca juga: Karhutla di Riau dan Kalimantan Berbeda dengan Amazon, Apa Bedanya?
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air.
— Iwan Pribadi (@temukonco) September 15, 2019
Saya persembahkan.
Peta Indonesia terkini... pic.twitter.com/MaZSNKaVMu
"Seperti di kota Palangkaraya, tercatat konsentrasi CO-nya 846ppbv (Part Per Billion by Volume). Sementara di Jambi tercatat konsentrasi CO-nya 5252ppbv (Part Per Billion by Volume)," imbuh akun tersebut.
Selain memaparkan kondisi CO di beberapa wilayah Indonesia, akun @temukonco juga menyarankan untuk meluncur ke laman windy.com untuk mengetahui informasi lebih detail.
Berkaitan dengan informasi yang dipaparkan @temukonco, bagaimana paparan peta yang dimiliki BMKG?
Menjawab pertanyaan ini Kompas.com menghubungi Kepala Bidang Layanan Informasi Cuaca BMKG Ana Oktavia Setiowati.
Kepada Kompas.com, Ana menjelaskan bahwa peta Indonesia yang dipaparkan dalam situs windy.com merupakan paparan gas CO atau karbon monoksida.
Karbon monoksida merupakan gas tak berwarna, tak berbau, dan tak berasa yang ada di atmosfer.
Sumber gas CO sendiri bisa disebabkan oleh asap kendaraan bermotor, pabrik, asap kebakaran, dan lain sebagainya.
"Nah, kalau dilihat untuk wilayah Indonesia, terutama di wilayah Riau dan Kalimantan, itu memang sesuai (dengan peta dari windy.com). Karena sebaran asap memang posisinya di lokasi tersebut," kata Ana dihubungi Selasa (17/9/2019).
Ana menjelaskan, ketika di suatu wilayah terjadi kebakaran hutan dan kabut asap pekat di sana, maka akan terdeteksi seperti pada gambar peta yang dimuat windy.com.
Namun, paparan dalam peta di laman windy.com tidak dapat dibandingkan dengan peta dari BMKG. Ini karena BMKG belum memiliki peralatan untuk memantau gas CO di udara.
"Tapi kami BMKG belum memiliki peralatan untuk mengamati terkait dengan gas CO tersebut," ujar Ana.
Dalam percakapan dengan Kompas.com, Ana memaparkan kondisi titik panas di Indonesia saat ini.
Dia menyebutkan, sebaran titik panas masih sama dengan sebelumnya, yakni ada di Riau, Jambi, Palembang, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, sampai ke Kalimantan Utara."
"Kalau dilihat provinsi (yang mengalami karhutla) sama seperti sebelumnya, tapi titik-titik panasnya tidak selalu sama di posisi itu," jelas Ana.
Perbedaan titik panas yang berubah disebut Ana dipengaruhi oleh luas lahan dan hutan yang begitu luas. Ketika titik satu dipadamkan, sangat mungkin terjadi titik panas yang lain tumbuh.
"Apalagi lahan gambut sangat sulit dipadamkan. Di sini sudah padam, di tempat lain ada lagi," ujar dia.
Dia menambahkan, kondisi karhutla di Indonesia ini sangat dipicu oleh musim kemarau.
"Tetapi perlu diingat, pemerintah baik pemerintah pusat dan daerah, terus menangani untuk menanggulangi kebakaran hutan. Sekarang sedang menggalakkan kegiatan hujan buatan," kata Ana.
Upaya mengurangi titik panas dengan hujan buatan ini dilakukan BMKG bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan TNI.
"Kami selalu memantau pertumbuhan awan yang ada di lokasi-lokasi kebakaran hutan," kata dia.
"Sehingga begitu (menemukan) ada potensi (awan) untuk disemai, maka TNI akan langsung menyebarkan garam dengan rekomendasi dari BMKG," jelas dia.
Berbicara tentang hujan buatan, Indra Gustari Kepala Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG pernah mengatakan kepada Kompas.com bahwa secara umum Indonesia masih mengalami musim kemarau.
"Hanya sebagian wilayah Riau yang mulai hujan, tetapi intensitasnya masih kecil atau rendah," ungkap Indra kepada Kompas.com.
Dia pun menjelaskan, solusi hujan buatan akan efektif jika kelembapan udaranya di level 700 hPa atau lebih dari 75 persen.
Berkaca dari hal tersebut, Ana menerangkan bahwa memang kondisi secara umum Indonesia memasuki musim kemarau sehingga kecil sekali kemungkinan untuk terjadi hujan.
Namun secara lokal, dikatakan Ana, ada awan-awan yang bisa disemai untuk kemudian dijadikan hujan buatan.
"Awan-awan yang berpotensi (hujan) inilah yang dimonitor oleh BMKG," terang Ana.
Ana menceritakan, beberapa bulan belakangan BMKG bersama dengan BPPT telah sukses menyemai awan yang bisa mendatangkan hujan buatan.
"Secara umum memang kemarau, tapi secara lokal kita (BMKG) terus memantau dan memberikan informasi. Jadi begitu ada potensi, lansung disampaikan, sehingga langsung dilakukan teknologi modifikasi buatan atau hujan buatan oleh BPPT," jelas dia.
Baca juga: Riau Dikepung Kabut Asap, Apakah Hujan Buatan Bisa Dijadikan Solusi?
Ana menjelaskan, kategori awan yang bisa disemai dilihat dari kandungan uap air di atmosfer dan potensi pertumbuhan awannya.
Untuk melakukan pengecekan kondisi kabut asap terburuk, Ana mengatakan, masyarakat dapat melihatnya di "kualitas udara" dalam situs resmi BMKG. Di sana ada PM10 dan dapat dilihat kondisi terkini dari berbagai provinsi di Indonesia.
"Di sana nanti masyarakat bisa mengamati jam per jam setiap harinya," tutup Ana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.