Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kabut Asap Riau, Walhi Minta Pemerintah Terbuka atas Lahan Konsesi

Kompas.com - 16/09/2019, 13:46 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Riau dan Kalimantan mendatangkan kabut asap pekat di sejumlah daerah.

Beberapa daerah yang diselimuti kabut asap antara lain Kepulauan Riau, Jambi, Palembang, Banjarmasin, Palangkaraya, hingga negeri tetangga Malaysia.

Dalam pemberitaan Kompas.com, kabut asap pekat sangat tidak sehat dan berdampak signifikan terhadap kesehatan makhluk hidup, terutama karena meningkatkan penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

Ini baru dampak jangka pendek. Dampak jangka panjangnya, masyarakat terdampak sangat mungkin mengalami kanker paru.

Selain dampak kesehatan yang sangat memprihatinkan, jarak pandang yang sangat pendek membuat puluhan jadwal penerbangan dibatalkan.

Baca juga: Kabut Asap Riau, 3 PR Jokowi untuk Tangani Karhutla di Indonesia

Namun perlu menjadi perhatian bersama, fenomena karhutla dan kabut asap tahun ini bukan yang pertama terjadi.

Setiap tahun, Indonesia khususnya daerah seperti Riau dan Kalimantan mengirup udara tidak sehat karena karhutla.

Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Wahyu A. Pradana mengkritisi, pemerintah masih lamban dalam menetapkan fenomena karhutla dan kabut asap 2019 sebagai bencana nasional. Pemerintah justru selalu berkata bahwa penanganan karhutla 2019 sudah lebih baik dibanding 2015.

Wahyu menjelaskan, pada 2015 memang ada lebih dari 48.000 titik panas kebakaran hutan dan lahan.

Namun yang perlu diingat, dari 2017 ke 2018, ada kenaikan dari 4.000 titik panas menjadi sekitar 8.000 titik panas. Kemudian dari 2018 sampai awal September 2019, total ada 19.000 titik panas.

"Nah, jika pembandingnya 2015 ya tidak make sense. Terlebih ada peningkatan yang signifikan setiap tahun," ungkap Wahyu dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Senin (16/9/2019).

Untuk itu, hal pertama dan paling utama untuk mengatasi masalah ini menurut Wahyu adalah pemerintah secara terbuka memberikan informasi kepada masyarakat dari mana karhutla berasal.

Hal ini dirasa Wahyu sangat penting, sebab, sikap tersebut secara tidak langsung bakal berdampak pada pengambilan kebijakan atas penetapan status daruratnya.

"(Pemerintah) berkali-kali bilang (yang terbakar) ladang masyarakat. Padahal fakta yang disegel bukan, kan enggak make sense," kata Wahyu dihubungi Kompas.com, Senin (16/9/2019).

Wahyu berharap pemerintah untuk membuka data lahan konsesi yang terbakar untuk bisa menjadi informasi publik. Terlebih hal ini secara hukum juga sudah termuat dalam putusan Mahkamah Agung.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau