Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Kami Bukan Monyet, Ahli Jelaskan Alasan Panggilan Hewan Itu Menghina

Kompas.com - 20/08/2019, 10:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Wajar bila dua jenis metafora ini hadir dalam konflik-konflik paling mengerikan dalam sejarah. Metafora kera yang merendahkan sering digunakan pada pribumi selama perang kolonial dan penaklukan. Metafora menjijikkan digunakan untuk mengggambarkan orang sebagai hama dan kecoak selama Holocaust dan genosida Rwanda.

Konsep kebinatangan

Walau hanya sedikit metafora hewan yang sangat menghina, sebagian besar memang dianggap negatif dalam konotasinya. Satu penelitian menemukan bahwa mayoritas metafor ini dianggap menghina—terutama yang ditujukan pada lelaki—dan satu penelitian lain menunjukkan bahwa metafora hewan mewakili sifat-sifat negatif.

Penelitian kami menunjukkan bahwa sifat negatif yang paling umum adalah buruk, kotor, dan bodoh. Intinya, ketika menyebut seseorang sebagai “binatang” dalam pengertian umum, kita menganggap sifat-sifat negatif ini ada pada mereka.

Manusia ialah makhluk yang bermoral, beradab, dan pintar; sedangkan hewan tidak.

Nyata, ada perdebatan bahwa metafora hewan mengungkapkan sebuah arti yang mendalam tentang hierarki. Dalam konsep kuno scala naturae atau rantai keberadaan, manusia berada satu tingkat di atas hewan; hewan lebih tinggi derajatnya dari tumbuhan dan bahan mineral. Kita berada dua tingkat di bawah Tuhan dan para malaikat.

Dalam hierarki ini manusia dianggap mempunyai kekuatan akal dan kendali diri yang unik, sedangkan hewan hanya punya insting yang tidak terkendali. Karena itu, memanggil seseorang sebagai hewan berarti menurunkan mereka ke tingkat keberadaan yang lebih rendah; mereka berada di suatu keadaan yang lebih primitif dan tidak memiliki sifat-sifat manusia.

Seandainya saja metafora dan konsep hierarki tentang manusia dan hewan hanyalah bagian dari keingintahuan belaka dan sudah menjadi sejarah. Sayangnya, banyak bukti bahwa hal-hal ini bertahan sampai sekarang.

Orang-orang dengan sadar untuk menggolongkan orang lain lebih rendah dan lebih primitif dari manusia; ini mengejutkan. Metafora hewan menyingkap kenyataan buas kita.

Nick Haslam

Professor of Psychology, University of Melbourne

Artikel ini ditayangkan atas kerja sama Kompas.com dan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambilkan dari artikel berjudul "Jangan panggil orang Papua monyet: Ahli jelaskan makna panggilan hewan pada manusia".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com