Oleh Nick Haslam
MEMBANDINGKAN manusia dengan hewan itu problematik tapi sulit untuk tidak dilakukan. Kita memang hewan, tapi kita hewan yang yakin bahwa kita bukan sekadar hewan.
Saat kita menyamakan orang dengan makhluk lain akan muncul masalah, misalnya saat fans olahraga menyebut makian rasis, atau Donald Trump menyebut Presiden Suriah Bashar al-Assad seekor binatang, atau saat mahasiswa Papua diduga disebut monyet di Surabaya, Jawa Timur, belum lama ini.
Orang mengggunakan perbandingan dengan hewan untuk berbagai ekspresi, banyak di antaranya yang positif. Hewan yang imut dan kecil, misalnya, dipakai sebagai nama kesayangan untuk anak-anak atau kekasih.
Sementara itu, hewan yang memiliki nilai tertentu dijadikan simbol sifat manusia: orang yang berani disebut berhati singa; orang yang mahir menilai sesuatu disebut bermata elang. Orang-orang mengidentifikasikan diri dengan hewan yang menjadi lambang atau maskot klub-klub sepakbola.
Metafora hewan lainnya lebih netral dan menjadi cara mudah menggambarkan karakter manusia.
Menyebut orang domba artinya menyebut mereka gampang patuh; menyebut orang ayam atau tikus artinya menyebut mereka penakut atau malas. Menyebut orang sapi atau kodok berarti menyamakan bentuk fisik mereka—alih-alih sifat psikologis—mirip dengan hewan itu.
Perbandingan-perbandingan ini berbeda-beda dalam setiap budaya dan bahasa. Di Barat, burung hantu itu bijak, tapi di India burung hantu itu bodoh. Dalam bahasa Inggris, hiu digunakan untuk orang yang suka bohong dan rakus, tapi dalam bahasa Persia artinya laki-laki yang tidak punya atau hanya punya sedikit jenggot.
Banyak metafora hewan yang terang-terangan menghina—alih-alih menyamakan sifat tertentu. Menyebut orang babi, tikus, kera, monyet, anjing, belatung, atau lintah memiliki makna derogatif serta tudingan emosional dan moral yang keras.
Metafora yang menghina
Dalam sebuah penelitian, saya dan kolega saya menyelidiki makna yang disampaikan lewat rupa-rupa metafora hewan dan mempelajari apa yang menyebabkan metafora ini menjadi hinaan. Kami menemukan dua sebab yang cukup kuat.
Yang pertama, dan mungkin tidak mengejutkan, hewan-hewan yang dibenci seperti ular, lintah, dan tikus adalah metafor yang lebih mengandung unsur hinaan. Orang menggunakan metafor semacam ini pada orang lain bukan untuk menyebut bahwa orang tersebut mirip dengan hewan-hewan ini.
Akan tetapi, sebutan ini digunakan untuk menyampaikan rasa jijik terhadap hewan itu kepada orang yang dimaksud.
Kedua, kami menemukan bahwa orang sangat tidak terima dengan metafor hewan karena perbandingan itu memandang rendah mereka. Saat orang menyebut orang lain kera, monyet, atau anjing, mereka bukannya menyamakan orang tersebut dengan hewan yang dibenci seperti tikus atau ular.
Akan tetapi, sebutan ini menyampaikan makna bahwa orang tersebut dianggap lebih rendah derajatnya.
Singkatnya, metafor binatang yang menghina ada yang merendahkan dan ada juga yang menjijikkan.
Wajar bila dua jenis metafora ini hadir dalam konflik-konflik paling mengerikan dalam sejarah. Metafora kera yang merendahkan sering digunakan pada pribumi selama perang kolonial dan penaklukan. Metafora menjijikkan digunakan untuk mengggambarkan orang sebagai hama dan kecoak selama Holocaust dan genosida Rwanda.
Konsep kebinatangan
Walau hanya sedikit metafora hewan yang sangat menghina, sebagian besar memang dianggap negatif dalam konotasinya. Satu penelitian menemukan bahwa mayoritas metafor ini dianggap menghina—terutama yang ditujukan pada lelaki—dan satu penelitian lain menunjukkan bahwa metafora hewan mewakili sifat-sifat negatif.
Penelitian kami menunjukkan bahwa sifat negatif yang paling umum adalah buruk, kotor, dan bodoh. Intinya, ketika menyebut seseorang sebagai “binatang” dalam pengertian umum, kita menganggap sifat-sifat negatif ini ada pada mereka.
Manusia ialah makhluk yang bermoral, beradab, dan pintar; sedangkan hewan tidak.
Nyata, ada perdebatan bahwa metafora hewan mengungkapkan sebuah arti yang mendalam tentang hierarki. Dalam konsep kuno scala naturae atau rantai keberadaan, manusia berada satu tingkat di atas hewan; hewan lebih tinggi derajatnya dari tumbuhan dan bahan mineral. Kita berada dua tingkat di bawah Tuhan dan para malaikat.
Dalam hierarki ini manusia dianggap mempunyai kekuatan akal dan kendali diri yang unik, sedangkan hewan hanya punya insting yang tidak terkendali. Karena itu, memanggil seseorang sebagai hewan berarti menurunkan mereka ke tingkat keberadaan yang lebih rendah; mereka berada di suatu keadaan yang lebih primitif dan tidak memiliki sifat-sifat manusia.
Seandainya saja metafora dan konsep hierarki tentang manusia dan hewan hanyalah bagian dari keingintahuan belaka dan sudah menjadi sejarah. Sayangnya, banyak bukti bahwa hal-hal ini bertahan sampai sekarang.
Orang-orang dengan sadar untuk menggolongkan orang lain lebih rendah dan lebih primitif dari manusia; ini mengejutkan. Metafora hewan menyingkap kenyataan buas kita.
Nick Haslam
Professor of Psychology, University of Melbourne
Artikel ini ditayangkan atas kerja sama Kompas.com dan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambilkan dari artikel berjudul "Jangan panggil orang Papua monyet: Ahli jelaskan makna panggilan hewan pada manusia".
https://sains.kompas.com/read/2019/08/20/104617123/kami-bukan-monyet-ahli-jelaskan-alasan-panggilan-hewan-itu-menghina