Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tahun 2040 Jawa Kehabisan Air, Ratusan Juta Penduduk Terancam

Kompas.com - 05/08/2019, 08:47 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Editor

Sumber BBC

KOMPAS.com - Indonesia merupakan salah satu negara terkaya dalam sumber daya air karena menyimpan 6% potensi air dunia, tapi pulau terpadat di negara ini terancam kehabisan air.

Sumber air melimpah Indonesia tercantum dalam laporan badan kerja sama lintas negara, Water Environment Partnership in Asia (WEPA).

Namun kajian resmi pemerintah memprediksi Jawa bakal kehilangan hampir seluruh sumber air tahun 2040. Ini adalah salah satu alasan di balik wacana pemindahan ibu kota, bahwa 150 juta penduduk di pulau terpadat Indonesia akan kekurangan air, bahkan untuk sekadar makan atau minum.

Para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut sejumlah faktor pemicu krisis air, dari perubahan iklim, pertambahan penduduk hingga alih fungsi lahan.

Pemerintah mengklaim proyek bendungan serta revitalisasi waduk dan danau yang terus berjalan dapat mencegah krisis air, walau akademisi menilai upaya itu belum cukup membendung bencana yang bakal datang.

Baca juga: Kaya akan Karst, Kenapa Pacitan Kekurangan Air Bersih?

BBC News Indonesia bertemu komunitas warga di Jakarta dan Pacitan, Jawa Timur, yang saat ini merasakan hidup dengan sumber air terbatas.

Pagi itu di akhir Juli lalu, Miratin melakukan aktivitas yang ia jalani sejak kanak-kanak. Warga Desa Klepu, Kecamatan Donorojo, Pacitan itu berjalan kaki naik-turun lanskap berbukit, menuju sebuah gua vertikal yang berjarak satu kilometer dari rumahnya.

Miratin dan keluarganya terbiasa mandi, mencuci baju, lalu membawa sebakul air bersih ke rumah. Rumahnya adalah satu dari 85 rumah di Desa Klepu yang tidak tersambung pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

"Kadang saya juga beli air, biasanya 20 liter seharga Rp500. Itu untuk masak dan mencuci. Sorenya saya beli lagi atau ambil ke gua."

"Sebenarnya berat setiap hari harus ke gua. Tapi mau bagaimana lagi? Saya juga sudah terbiasa," ujarnya.

Sekitar 100 meter dari rumah Miratin sebenarnya terdapat satu sumur. Namun saat kemarau, tak ada air yang bisa ditimba dari sumur tersebut.

Merujuk pemetaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jawa Timur termasuk provinsi yang paling terdampak kemarau panjang tahun 2019. Puluhan desa di Pacitan disebut bakal mengalami kekeringan akut Agustus hingga September mendatang.

Hujan yang semakin jarang turun juga mempengaruhi suplai air penduduk Desa Klepu di Pacitan yang telah terhubung leding, salah satunya Katini.

"Sulit sekali mendapat air bersih di musim kemarau ini. Ada jaringan PDAM tapi airnya tidak keluar," tuturnya.

Baca juga: Ibu Kota Afrika Selatan Kehabisan Air, Solusinya Ada di Bawah Laut

Katini dan sebagian besar tetangganya kini bergantung pada bantuan air bersih dari pemerintah. Karena bantuan datang tak tentu hari, mereka terpaksa membeli satu tangki air berisi 6000 liter seharga Rp330 ribu.

"Tidak (ada) air, hidup sulit, karena itu kebutuhan yang paling penting. Segala sesuatu butuh air," katanya.

Sementara itu di Jakarta, warga Kecamatan Tambora bernama Mamas kian bergantung pada pedagang air keliling pada musim kemarau ini. Pompa air manual miliknya semakin kepayahan menyedot air tanah dari sumur sedalam 14 meter.

Mamas dan keluarganya adalah bagian dari 40% rumah tangga di Jakarta yang tidak tersambung pipa air bersih.

"Air yang keluar sedikit waktu kemarau, pompa perlu diistirahatkan dulu. Setelah setengah jam, baru air keluar lagi. Mungkin air sudah surut, padahal cukup dalam. Kalau musim hujan, setiap hari ada air," ujarnya.

Apakah krisis air Jawa benar-benar bisa terjadi?

Krisis air terjadi saat kebutuhan atas sumber daya ini lebih tinggi dibandingkan tingkat ketersediaannya, kata peneliti senior di Pusat Geoteknologi LIPI, Rachmat Fajar Lubis.

Persoalannya di Jawa, kata Rachmat, air selalu dipersepsikan sebagai sumber daya terbarukan karena Indonesia mengalami musim hujan setiap tahun.

Padahal, ia menyebut curah hujan Jawa tidak pernah bertambah, bahkan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Menurut Rachmat, ancaman krisis air di Jawa bisa semakin nyata. Alasannya, perubahan iklim itu diperparah faktor antropogenik: pengambilan air secara besar-besaran untuk rumah tangga dan industri maupun alih fungsi lahan.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau