Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tahun 2040 Jawa Kehabisan Air, Ratusan Juta Penduduk Terancam

Kompas.com - 05/08/2019, 08:47 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Editor

Sumber BBC

Potensi krisis air di Jawa ini pula yang mendorong Bambang, melalui Bappenas, mewacanakan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke suatu kota di Kalimantan Timur.

"Karena Jawa yang mengalami krisis air, beban Jawa harus dikurangi walau kita tidak bisa menahan laju pertumbuhan penduduk dan ekonomi," ucapnya.

Sementara itu, proyek pembangunan bendungan merupakan solusi yang diajukan Hari Suprayogi, Dirjen Sumber Daya Air di Kementerian PUPR. Penampungan air hujan, kata dia, merupakan kunci ketahanan air.

"Kalau bangun banyak penampungan, orang di Jawa pasti masih bisa minum di musim kemarau. Tapi ada balapan, berapa pertumbuhan penduduk, berapa untuk pertanian."

"Tampungan air harus dibangun untuk memenuhi kebutuhan. Ketahanan air tercapai kalau ada pengawetan air, jawabanya penampungan," kata Hari.

Kementerian PUPR (2019) Proyek Bendungan di Jawa 2014-2024

Menurut laporan Bank Dunia tahun 2005 yang masih terus dikutip pemerintah, tampungan air per kapita di Indonesia sebesar 52 meter kubik setiap tahun.

Sebagai komparasi, salah satu negara dengan tampungan air terendah adalah Ethiopia (38 meter kubik per kapita setiap tahun). Adapun, Thailand memiliki 1.277 meter kubik sementara Amerika Utara mencapai 5.961 meter kubik.

Pemerintah menargetkan 65 bendungan baru di seluruh Indonesia selama 2014-2024. Dari total itu, 12 bendungan anyar dibangun di Jawa.

"Kami sudah punya visi 2030. Pada tahun itu, diharapkan tercapai 120 meter kubik per kapita per tahun," ujar Hari.

Tapi apakah upaya itu cukup?

Peneliti senior LIPI, Rachmat Fajar Lubis, menyatakan ancaman krisis air tak akan berlalu dengan pembangunan penampung air semata. Yang lebih vital, kata dia, adalah teknologi massal penjernih air.

"Kalau prediksi perubahan iklim benar, bendungan akan tetap kering. Jadi perlu pemanfaatan air marjinal, yaitu air di sekitar manusia yang tidak pernah dimanfaatkan seperti air laut, air sungai, air gambut atau air sisa pertambangan."

"Jakarta punya 13 sungai yang mengalir 24 jam. Ciliwung, Grogol, Krukut, semua mengalir tapi tidak digunakan padahal itu gratis," kata Rachmat.

Meski begitu, Rachmat menilai kebijakan pemerintah belum sepenuhnya menyokong kajian pemurnian air bersih. Menurutnya, pemerintah menginginkan teknologi yang siap pakai, tanpa mempertimbangkan waktu dan modal riset.

"Kalau kita punya teknologi murah untuk mengolah air laut, tidak usah khawatir krisis. Kita kan negara bahari, tanpa hujan pun Jawa akan bisa bertahan," ujarnya.

Bagaimanapun, kata Heru Santoso, pakar LIPI lainnya, penyadaran bersama tentang ancaman krisis air perlu segera digaungkan pemerintah kepada masyarakat.

Edukasi itu disebutnya dapat mendorong perubahan kultur, terutama soal mengapa kita perlu menghemat air.

Heru berkata, krisis air bukan cuma tentang ketersediaan pangan dan air minum, tapi juga listrik. Ia berkata, suplai energi untuk 150 juta penduduk Jawa terancam terganggu karena 31 pembangkit listrik di pulau itu digerakkan air.

"Saat ini kalau kita bicara bencana, lebih ke tektonik atau vulkanik. Kekeringan tercatat, tapi belum mendapat perhatian besar karena dianggap masih bisa tertangani."

"Beberapa pemda sekarang menyalurkan bantuan air bersih. Tapi ke depan, dengan ancaman defisit air yang jauh lebih besar, saya ragu cara ini bisa dilakukan lagi," tuturnya.

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com