KOMPAS.com - Kotornya udara Jakarta menjadi topik yang ramai dibicarakan masyarakat dalam beberapa pekan terakhir.
Menurut pemberitaan Kompas.com edisi (11/7/2019), Dinas Kesehatan DKI Jakarta sudah mencatat enam penyakit yang disebabkan polusi udara.
Di antaranya, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), asma (gangguan saluran pernapasan), pneumonia atau paru-paru basah, kanker, stroke, dan kencing manis.
"Pertama, lingkungan atau polusi udara 60 persen mempengaruhi kualitas derajat kesehatan seseorang. Sisanya adalah, perilaku tidak sehat dan layanan kesehatan yang buruk yang menjadi faktornya," ujar Widyastuti saat ditemui di Kantor Dinas Kesehatan DKI, Jalan Kesehatan, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/7/2019).
Baca juga: Soal Polusi Udara Jakarta Buruk Saat Malam, Begini Kata BMKG
Seperti dikatakan Widyastuti, polusi udara menyumbang lebih dari separuh porsi penyebab penyakit terkait saluran pernapasan.
Hal ini sejalan dengan laporan Greenpeace pada 18 Juli 2018, di mana sumber polutan termasuk asap kendaraan, emisi, cerobong asap, sisa pembakaran rumah, dan lain-lain, tak hanya menimbulkan penyakit tapi juga disebut pembunuh senyap.
"PLTU di sekitar Kota Jakarta adalah pembunuh senyap yang menyebabkan kematian dini sekitar 5.260 jiwa rakyat Indonesia per tahun. Angka tersebut diperkirakan akan melonjak menjadi 10.680 jiwa per tahun seiring dengan rencana pembangunan PLTU baru di sekitar Jakarta," ungkap Bondan Andriyanu, Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia kepada Kompas.com.
Kematian akibat polusi udara umumnya terjadi di negara miskin dan berkembang. Bahkan riset menemukan, polusi menyebabkan lebih banyak kematian dibanding masalah kesehatan lain.
Dari total 9 juta kematian, sebanyak 6,5 juta kematian diakibatkan oleh pencemaran udara. Lalu, hampir setengah dari total angka itu berasal dari dua negara dengan penduduk terbanyak, yakni India dan China.
Data ini dipaparkan dalam The Lancet medical journal, yang dilansir kantor berita AFP.
Negara dengan pembangunan industri yang cepat seperti India, Pakistan, China, Banglades, Madagaskar, dan Kenya, tercatat memiliki akumulasi dampak polusi hingga satu orang dari setiap empat kematian.
Studi di jurnal The Lancet medical edisi November 2017 menegaskan, polusi merusak kesehatan manusia dan juga lingkungan.
"Polusi membunuh lebih banyak orang daripada perang dan kelaparan, daripada malaria atau AIDS atau tuberkulosis. Semua ini jauh dibandingkan dengan polusi," kata Andrew Maccarator.
Pelajaran lainnya adalah tingkat kematian terutama mempengaruhi orang-orang yang paling kesulitan untuk mendapatkan pertolongan.
"Pada tahun 2016, polusi secara nyata menyebabkan 9,6 juta kematian, 92 persen dari kematian tersebut berada di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Jumlah tersebut besar mengingat distribusi masalah. Tapi jujur saja pembagian tersebut tidak adil. Periset mengatakan otak kita membuat polusi lebih sulit dilawan," papar Oluseji Adeyi dari Bank Dunia.
Manusia terlatih untuk menanggapi ancaman Langsung. Penyakit menular seperti Zika, seperti demam berdarah, yang membuat orang cepat dan jelas menderita sakit, benar-benar mendapat perhatian publik.
"Namun penyakit tidak menular, penyakit kronis yang disebabkan oleh polusi, kanker, penyakit paru-paru kronis, perlu waktu bertahun-tahun untuk mendapat perhatian. Kaitan antara sebab dan akibat tidak tampak jelas dan orang dengan mudah mengabaikannya," ujar Dr. Phillip Landrigan.
Oleh karenanya laporan tersebut mencoba untuk memecah masalah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.
"Ada polusi udara, polusi air, isu-isu tanah dan tempat kerja. Dalam setiap kategori tersebut, cenderung ada jenis masalah yang sama yang muncul berulang kali dan ini adalah cara bagaimana kita melihat polusi," jelas Richard Fuller dari Komisi Lancet.
Kemudian, polusi udara yang meluas di India dan China juga sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, India mungkin bisa jadi jauh lebih berbahaya karena polusi udara. Berbahaya dalam hal yang tidak pernah kita lihat sebelumnya di bumi," tukasnya.
Di tempat lain, polusi darat disebabkan oleh timbal, dan limbah berbahaya yang bertahan bertahun-tahun. Laporan Lancet mendesak negara-negara untuk menetapkan target khusus, lima tahun, 10 tahun, dan seterusnya agar masalah tersebut lebih mudah dikelola.
Baca juga: Soal Polusi Jakarta, Greenpeace Minta Pedoman Pengukuran ISPU Direvisi
Dokter Spesialis anak senior di Bengkulu, Abul Khair, memberikan tips untuk menjaga kesehatan akibat perubahan iklim dan polusi udara.
Hal yang paling penting menurutnya dari sisi kesehatan adalah mengupayakan peningkatan kekebalan tubuh dengan imunisasi.
"Imunisasi penting untuk kekebalan tubuh, seperti imunisasi flu, malaria, dan lain-lain. Memang ini mahal, namun harus diupayakan. Lebih baik kalau pemerintah memberikan gratis seperti di beberapa negara maju," ujarnya.
"Selain itu faktor lingkungan tempat tinggal harus baik dan bersih, dan tidak kalah penting asupan gizi".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.